CERPEN BOBO Ketujuh, Melacak Jejak

Cerpen Bobo Ketujuh Ini Ceritanya Berjudul "Melacak Jejak", Semoga Adik-Adik Bisa Mengambil Hikmahnya Ya


Cerpen ini bukan kakak yang membuatnya, kakak hanya mengumpulkan cerpen-cerpen yang paling bagus menurut kakak dari berbagai sumber. Tapi sumber yang paling banyak kakak pilih adalah dari web resmi Bobo-nya langsung. Selamat membaca...

CERPEN BOBO, Melacak Jejak

----------------------------------------------------------------------------------------
Nigar kaget melihat kaver majalah Boo terbarunya robek. Terakhir kali dia melihat Igun yg membacanya. Segera Nigar menemui adiknya itu.

"Igun, kenapa kamu robek majalah baru ini?" Nigar setengah berteriak.

"Gak sengaja. Tapi isinya masih bisa dibaca kan, Kak!" kilah Igun takut.

"Pokoknya kamu harus ganti. Kalau gak, mobil-mobilan ambulan kamu itu akan aku buang ke sungai," ancam Nigar sewot. "Cepat, sekarang juga!"

Nigar ke luar kamar Igun dan menunggu di ruang tengah. Dilihatnya kemudian Igun ke luar kamar sambil membawa mobil-mobilan kesayangannya. Nigar gak mau melihat ke arah Igun, ketika adiknya menelepon seorang temannya. Bahkan Nigar pura-pura gak mendengar ketika adiknya pamit pergi.

Satu jam Nigar menunggu, Igun belum juga pulang. Dua jam berlalu. Bahkan sampai magrib tiba Igun gak juga kembali. Ibu yg biasanya melihat Igun di depan tv langsung cemas.

"Coba cari adikmu, Gar!" ujar Ibu kuatir.

Nigar mematuhi permintaan Ibu. Diam-diam Nigar ikut cemas. Dicarinya Igun di setiap rumah teman yg diketahuinya. Tapi setelah berkeliling mengitari komplek, tidak satupun teman Igun yg mengaku bermain dengan Igun. Nigar semakin cemas saja. Namun dia sedikit lega saat di perempatan jalan berpapasan dengan Oben, temannya yg terkenal sebagai detektif kampung. Segera saja ia menceritakan masalahnya pada Oben.

Oben tertegun beberapa saat. "Wah, kalau begitu kita harus melacak jejak adikmu dari rumahmu. Yuk, kita ke rumahmu dulu!" ajak Oben kemudian.

Nigar menuruti permintaan Oben. Hanya Ibu yg kebingungan karena Nigar bukan membawa pulang Igun, malah mengajak Oben.

"Sabar, Bu. Nanti Nigar jelaskan," ujar Nigar hati-hati.

Oben meminta Nigar mengulangi lagi apa yg dilihatnya sebelum adiknya keluar rumah.

"Pokoknya dia membawa mainan ambulannya, menelpon temannya, dan pergi," begitu kata Nigar.

"Hmmm, jadi sempat memakai telepon dulu… Kalau begitu aku harus tahu… Apa di rumah ini ada yg memakai telepon setelah Igun?" tanya Oben.

Nigar menggeleng. Ibu juga gak merasa memakainya. Ayah belum pulang dari kantor jadi gak mungkin memakai telepon itu.

"Syukurlah kalau memang demikian. Itu jadi mempermudah. Bu, saya pinjam teleponnya sebentar," Oben minta ijin. Ia lalu memijat tombol bertuliskan huruf ‘R’ di telepon. Sesaat kemudian terdengar sahutan dari seberang.

"Selamat malam! Maaf, apakah ini rumah Aca?" tanya Oben langsung.

"Bukan. Salah sambung," sahut suara di seberang.

"Tunggu dulu, Om, jangan ditutup. Saya saudara Igun. Kalau boleh tahu, apakah Igun sedang bermain di sana?"

"Igun? Oooo... teman sekelas Farhan itu…ya? Ada. Memangnya kenapa?"

"Ibunya mencari-cari sejak sore. Kalau begitu, tolong jangan beri tahu Igun kami menelpon. Kami akan ke sana menjemputnya. Di mana alamat rumah Farhan, Om?"

"Jalan Percetakan dua belas."

"Terima kasih, Om. Selamat malam." Oben meletakkan gagang telepon. "Nah, sekarang kita tinggal menjemputnya. Mudah, kan?"

Nigar menggeleng. "Belum tentu Igun mau pulang denganku," kilahnya.

"Ya, itu sudah tugas kamu sebagai kakaknya."

"Ayolah, temani aku menjemput Igun."

"Bukan apa-apa, Gar. Aku belum makan malam nih. Aku lapar."

"Itu soal gampang. Nanti aku traktir makan nasi goreng Mang Aep kalau berhasil membujuk Igun pulang." Nigar tahu, Oben paling suka makan nasi goreng.

"Oke deh kalau begitu!" sahut Oben.

Mereka segera bersepeda ke Jalan Percetakan dua belas.

"Ngomong-ngomong, bagaimana tadi kamu tahu kalau Igun ada di rumah Farhan?" tanya Nigar ingin tahu.

"Mudah saja. Kamu yg bilang, Igun menelpon seseorang sebelum pergi. Jadi kupikir ia pasti pergi ke temannya itu."

Nigar manggut-manggut. "Lantas dari mana kamu tahu nomor teleponnya?"

"Juga mudah. Selama pesawat teleponmu itu belum dipakai siapapun, nomor telepon yg terakhir dihubungi akan otomatis terekam. Kita bisa menghubungi nomor itu dg menekan tombol redial, artinya menghubungi ulang," papar Oben.

Akhirnya mereka tiba di rumah Farhan. Dan Igun benar ada disitu. Tapi seperti yg diduga Nigar, adiknya ngotot gak mau pulang.

"Kak Nigar jahat sih. Mobil ambulan Igun mau dibuang ke sungai. Igun kan gak sengaja merobek sampul majalah Bobo-nya," Igun mengadu kepada Oben.

"Maksud Kakak biar Igun bertanggung jawab dengan apa yg kamu lakukan," sanggah Nigar.

"Pokoknya Igun gak mau pulang."

"Kakak janji gak akan meminta Igun menggantikan majalah itu. Juga gak akan membuang ambulan Igun," sahut Nigar, kuatir Igun gak mau pulang. Kalau Ayah sampai tahu, bisa-bisa ia gak boleh main selama sebulan penuh.

Igun tersenyum. "Saksinya Kak Oben tuh," tunjuk Igun. Tidak lama kemudian mereka pamit pulang kepada orang tua Farhan.

Nigar mengkayuh sepedanya sambil membonceng Igun. Sementara Oben dg sepedanya berbaris di belakangnya sambil berbicara dg Igun.

"Igun, kamu sering-sering kabur dari rumah ya kalau dimarahi Nigar," teriak Oben.

"Memangnya kenapa, Kak?" Igun heran.

"Biar aku bisa sering gratis makan nasi goreng Mang Aep. Cuma kalau kabur, beritahu aku dulu kemana perginya…."

"Hahahahaha...itu sih bukan kabur namanya!" timpal Nigar.

"Hahahahaha...nasi goreng! Nasi goreng!" teriak Oben lantang.
----------------------------------------------------------------------------------------
Gimana bagus gak cerita dalam cerpen di atas? Kalo adik-adik tertarik dengan cerpen bobo lainnya, silahkan baca aja di sini. Atau bisa juga baca di web bobo, ini dia web resminya: Bobo. Sampai berjumpa lagi di cerpen berikutnya, bey...

Untuk lebih lengkap tentang apa yang sedang Anda cari, Silahkan lihat dalam "Daftar Isi" di tombol menu atas!

Related Post