CERPEN BOBO Keempat, Pengamen Bindeng

Cerpen Bobo Keempat Ini Ceritanya Berjudul "Pengamen Bindeng", Semoga Adik-Adik Bisa Mengambil Hikmahnya Ya


Cerpen ini bukan kakak yang membuatnya, kakak hanya mengumpulkan cerpen-cerpen yang paling bagus menurut kakak dari berbagai sumber. Tapi sumber yang paling banyak kakak pilih adalah dari web resmi Bobo-nya langsung. Selamat membaca...

CERPEN BOBO, Pengamen Bindeng

----------------------------------------------------------------------------------------
“Lihat nih aku dapat uang banyak!” kata Udin beberapa saat sesudah turun dari bus kota. Rupanya dia baru aja mengamen. Uang receh dan uang kertas di dalam bekas bungkus permen di genggamannya terlihat penuh. Wajah anak itu berbinar senang.

“Wah, pasti kamu nyanyinya bagus banget sehingga penumpang kasih kamu uang banyak!” kata Genta, tukang semir sepatu, teman Udin.

Mereka slalu berkumpul di perempatan jalan dekat terminal tuk beristirahat. Genta sehari harinya adalah penyemir sepatu di warung warung sekitar terminal. Sedangkan Udin, Bambang dan Leman mengamen sendiri sendiri..

“Begitulah!” kata Udin gembira sambil menghitung uangnya. Genta terlihat senang juga melihat hasil yg didapat Udin, Ibu Udin saat ini sedang sakit, dia perlu uang banyak tuk berobat karena itu sudah seminggu ini Udin mulai ikut mengamen di dalam Bus.

“Padahal kamu ngamen nggak pakai alat musik ya, Din?” cetus Leman heran, “Terus kamu nyanyi cuma pakai tepuk tepuk tangan saja ya?”

Leman sendiri mengamen dengan menggunakan gitar kecil pemberian mendiang kakeknya. Suara Leman bagus sekali dan ia sangat mahir memainkan gitar kecil itu. Tetapi uang yg didapatnya gak pernah sebanyak yg didapat Udin setiap hari.

Mereka berempat adalah teman satu sekolah dan rumah mereka berdekatan, ketika mereka tahu Ibu Udin sakit, mereka menganjurkan Udin tuk ikut mengamen ato jadi penyemir sepatu di terminal. Udin menerima ajakan teman temannya.

“Tuh Bambang datang, kok dia lesu amat…” tunjuk Genta pada temannya yg terlihat baru turun dari Bus.

“Lesu,Bang?”

“Yaah, mungkin karena suaraku gak bagus yaa jadi nggak banyak yg kasih aku uang, lagian katanya Bang Poltak kondektur PPD ada pengamen yg suaranya bindeng yg ngamen sebelum aku, penumpang semua kasihan sama dia…”

Genta dan teman temannya berpandangan,”Pengamen Bindeng??”

Bambang mengangguk, “Sebetulnya sih bukan ngamen, suaranya aja hampir nggak ada katanya…jadi orang kasihan sama dia…”

“Yang mana ya orangnya? Aku kok nggak pernah lihat? Kalian pernah lihat?” tanya Udin. Genta dan Leman menggeleng. Tetapi memang begitu banyak pengamen di terminal ini, gak semua yg mereka kenal.

Genta berlari lari menyetop Bus Mayasaribakti yg merapat di halte. Dia mau ke daerah Tebet, ke rumah Pakde Santoso yg mau hajatan sunat Rio, sepupunya. Dia diminta datang menginap.

Ia duduk di kursi belakang, terhimpit himpit oleh penuhnya penumpang. Genta sudah terbiasa turun naik Bus kalau kemana mana. Meskipun baru berusia sepuluh tahun tapi dia gak pernah takut pergi sendirian.

Di halte berikutnya Bus terasa merapat. Genta gak bisa melihat keluar karena terhalang penumpang penumpang dewasa yg berdiri.

Dari arah depan Bus kemudian terdengar suara-suara aneh. Suara bindeng, seperti orang bisu yg berusaha mengeluarkan suara. Antara sengau dan bindeng. Genta berusaha melongok ke arah suara itu tapi gak bisa.

“Kasihan ya, bindeng begitu masih berusaha ngamen…” kata seorang Bapak yg berdiri dekat Genta.

“Ooh pengamen ya Pak…” ujar Genta mengangguk ngangguk. Mungkin pengamen ini yg kemarin diceritakan Bambang. Dilihatnya seusai pengamen itu menyanyikan lagu yg gak jelas bunyinya, orang-orang kelihatan mengeluarkan uang receh mereka tuk siap-siap diberikannya pada pengamen bindeng itu.

Pengamen itu terdengar menggoyangkan kantong uangnya yg sudah berisi uang receh. Genta juga sudah menyiapkan uang logam seratus rupiah tuk diberikan pada pengamen itu.

“Te..i..ma.a..iih” terdengar suara pemngamen itu berusaha mengucapkan terimakasih pada penumpang yg memberinya uang.

Ketika pengamen itu menyeruak diantara rapatnya penumpang di belakang, Genta kaget bukan main. Pengamen itu juga terlihat sangat terkejut melihatnya.

“Udin…?” desis Genta terpana.

Udin yg mengenakan topi lusuh dan baju yg sebagian sudah robek langsung bergegas menembus penumpang lalu melompat turun dari pintu belakang ketika Bus merapat ke halte berikutnya.

Genta juga begegas turun di halte tersebut.

“Din!!!” dia berlari mengejar Udin yg berusaha menghindarinya di halte.

Ketika langkahnya sudah menjajari Udin, Genta menarik lengan temannya ke pinggir dimana gak begitu banyak orang disana.

Udin menunduk malu.

“Jadi begitu cara kamu ngamen, Din?”tanya Genta” Pantas orang banyak kasih kamu uang…”

Udin mengangguk, “Iya Gen,…soalnya aku nggak bisa nyanyi, nggak bisa main alat musik juga, jadi aku berpura pura jadi pengamen bindeng aja…”

“Tapi itu namanya menipu, Din…” ujar Genta prihatin menyadari apa yg telah dilakukan Udin,

“Dan itu dosa. Kalau kamu nggak bisa nyanyi, nggak bisa main alat musik, kamu kan bisa nyemir kayak aku….asal Halal…”

“Tapi aku perlu banyak uang tuk Ibu!” kata Udin sengit.

“Tapi kan bisa dicari dengan cara yg Halal, Din… Allah Maha Mengetahui kok. Kalau kamu sudah berusaha sebaik-baiknya, dengan cara yg di ridhoi Allah, Allah pasti akan kasih kamu jalan… itu yg dibilang Ustad Adam, inget nggak?” tukas Genta, “Kalau dengn cara menipu orang seperti ini, Allah malah marah Din…”

Udin terdiam. Sebetulnya jauh di dalam hatinya dia juga gak ingin melakukan ini. Tetapi setiap kali teringat wajah pucat Ibunya, ia jadi gak perduli dengn jalan yg ditempuhnya.

“Sudah lah, Din… aku juga nggak mau memaksa kamu kok… Yang penting aku sudah ngingetin kamu… bahwa yg kamu tempuh ini salah… Sudah ya, aku mau melanjutkan perjalanan ke rumah Pakde ku…. ”kata Genta sambil bergegas meninggalkan Udin yg masih menunduk.

“Gen!!” panggil Udin ketika Genta sudah agak menjauh, “jangan bilang teman-teman yg lain ya… aku malu… Mulai besok aku boleh ikut nyemir bareng kamu?”

Genta mengangguk pasti, “Tentu Din! Aku masih punya kotak semir cadangan di rumah, kamu bisa pakai dulu…”

Seminggu kemudian ketika Genta dan teman temannya sedang beristirahat di perempatan jalan seperti biasa, Genta mendengar Bambang bicara pada Leman.

“Heran, kata Bang Poltak, pengamen bindeng itu seminggu ini sudah nggak kelihatan ngamen lho, Man..”

Udin memandang Genta dengan pandangan berterimakasih karena Genta gak menceritakan apa yg diketahuinya pada teman temannya.
----------------------------------------------------------------------------------------
Gimana bagus gak cerita dalam cerpen di atas? Kalo adik-adik tertarik dengan cerpen bobo lainnya, silahkan baca aja di sini. Atau bisa juga baca di web bobo, ini dia web resminya: Bobo. Sampai berjumpa lagi di cerpen berikutnya, bey...

Untuk lebih lengkap tentang apa yang sedang Anda cari, Silahkan lihat dalam "Daftar Isi" di tombol menu atas!

Related Post