Cerpen Bobo Ke-53 Ini Ceritanya Berjudul "Legenda Ikan Patin", Semoga Adik-Adik Bisa Mengambil Hikmahnya Ya
Cerpen ini bukan kakak yang membuatnya, kakak hanya mengumpulkan cerpen-cerpen yang paling bagus menurut kakak dari berbagai sumber. Tapi sumber yang paling banyak kakak pilih adalah dari web resmi Bobo-nya langsung. Selamat membaca...
CERPEN BOBO, Legenda Ikan Patin, Cerita Rakyat Riau
----------------------------------------------------------------------------------------
Pada zaman dahulu, di Tanah Melayu hidup seorang nelayan tua bernama Awang Gading. Dia tinggal sendirian di tepi sebuah sungai yg luas dan jernih. Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading slalu berbahagia. Dia mensyukuri setiap nikmat yg diberikan Tuhan. Hari-harinya dihabiskan tuk bekerja mencari ikan dan mencari kayu di hutan.Suatu hari, Awang Gading mengail di sungai. Sambil berdendang riang, dia menunggui kailnya. Burung-burung turut berkicau menambah kegembiraan Awang Gading. Sudah berkali-kali umpannya dimakan ikan, namun saat kailnya ditarik, ikannya terlepas lagi.
“Air pasang telan ke insang, air surut telan ke perut, renggutlah …! Biar putus jangan rabut,” terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya kembali.
Perlahan hari beranjak petang, namun tak seekor ikan pun diperolehnya. “Alangkah tak beruntungnya diriku hari ini,” keluh Awang Gading. DIa bergegas membereskan peralatan pancingnya dan berniat pulang. Tiba-tiba terdengar tangisan bayi. Dengan penasaran, Awang Gading mencari asal suara tersebut. Tak lama kemudian, Awang Gading melihat bayi perempuan tergolek di atas batu. Rupanya dia baru saja dilahirkan oleh ibunya.
“Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai,” gumam Awang Gading kemudian membawa pulang bayi perempuan tersebut. Malam itu juga Awang Gading menghadap tetua kampungnya tuk memperlihatkan bayi yg ditemukannya.
“Berbahagialah Awang, karena kamu dipercaya raja penghuni sungai tuk memelihara anaknya. Rawatlah dia dengn baik,” pesan Tetua Kampung.
Keesokan harinya, Awang Gading mengadakan tasyakuran atas hadirnya bayi di tengah kehidupannya. Awang mengundang seluruh tetangganya. Awang Gading memberi nama bayi tersebut Dayang Kumunah.
“Dayang sayg, anakku seorang …. Cepatlah besar menjadi gadis dambaan,” dendang Awang Gading saat menimang-nimang Dayang Kumunah.
Sejak kehadiran Dayang, Awang bertambah rajin bekerja. Awang memberikan kasih sayg dan perhatian yg melimpah tuk Dayang. Berbagai pengetahuan yg dimiliki ditularkannya kepada Dayang. Tak lupa pelajaran budi pekerti juga diberikannya. Kadang diajaknya Dayang mencari kayu ato mengail tuk mengenal alam secara lebih dekat.
Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yg sangat cantik dan berbudi. Dia juga rajin membantu bapaknya. Sayang, Dayang Kumunah tak pernah tertawa.
Suatu hari, seorang pemuda kaya bernama Awangku Usop singgah di rumah Awang Gading. Dia terpesona saat melihat kecantikan Dayang Kumunah. Tak lama kemudian Awangku Usop melamar Dayang pada Awang Gading. Lamaran Awangku Usop diterima, tetapi Dayang Kumunah mengajukan syarat.
“Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yg berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yg berlainan dengan manusia. Saya akan menjadi seorang istri yg baik, tetapi jangan minta saya tuk tertawa,” pinta Dayang Kumunah.
Awangku Usop menyetujui syarat tersebut.
Pernikahan mereka diadakan dengan pesta yg sangat meriah. Semua tetangga dan kerabat kedua mempelai diundang. Aneka hidangan tersedia dengn melimpah. Seluruh undangan gembira menyaksikan pasangan pengantin itu. Dayang Kumunah gadis yg sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yg sangat tampan. Sungguh pasangan yg serasi.
Awangku Usop dan Dayang Kumunah hidup berbahagia. Namun, kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah pernikahan, Awang Gading meninggal dunia. Hingga berbulan-bulan Dayang Kumunah bersedih meskipun Awang Usop slalu berusaha membahagiakan hati istrinya tersebut. Untunglah, kesedihan Dayang Kumunah segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yg berjumlah lima orang. Meskipun kini tlah memiliki lima orang anak, Awangku Usop merasa kebahagiaannya belum lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa.
Suatu hari, anak bungsu mereka mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kumunah. Awangku Usop meminta Dayang Kumunah tuk tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya, Dayang pun tertawa. Saat tertawa itu, tampaklah insang ikan di mulut Dayang Kumunah yg menandakan ia keturunan ikan. Setelah itu, Dayang segera berlari ke sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya. Perlahan-lahan tubuh Dayang berubah menjadi ikan. Awangku Usop dan anak-anaknya ditinggalkannya. Awangku Usop tlah mengingkari janjinya dengn meminta Dayang Kumunah tertawa.
Awangku Usop segera menyadari kekhilafannya dan meminta maaf. Dia meminta Dayang Kumunah kembali ke rumah mereka. Namun, semua sudah terlambat. Dayang tlah terjun ke sungai. Dia tlah menjadi ikan dengn bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki yg bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih. Mereka berjanji tak akan makan ikan patin karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya ada sebagian orang Melayu yg tak makan ikan patin.
----------------------------------------------------------------------------------------
Gimana bagus gak cerita dalam cerpen di atas? Kalo adik-adik tertarik dengan cerpen bobo lainnya, silahkan baca aja di sini. Atau bisa juga baca di web bobo, ini dia web resminya: Bobo. Sampai berjumpa lagi di cerpen berikutnya, bey...
Untuk lebih lengkap tentang apa yang sedang Anda cari, Silahkan lihat dalam "Daftar Isi" di tombol menu atas!