Cerpen Bobo Ke-52 Ini Ceritanya Berjudul "Legenda Pulau Senua", Semoga Adik-Adik Bisa Mengambil Hikmahnya Ya
Cerpen ini bukan kakak yang membuatnya, kakak hanya mengumpulkan cerpen-cerpen yang paling bagus menurut kakak dari berbagai sumber. Tapi sumber yang paling banyak kakak pilih adalah dari web resmi Bobo-nya langsung. Selamat membaca...
CERPEN BOBO, Legenda Pulau Senua, Cerita Rakyat Riau
----------------------------------------------------------------------------------------
Alkisah, di sebuah daerah di Natuna, Kepulauan Riau, hiduplah sepasang suami-istri miskin. Sang suami bernama Baitusen, sedangkan istrinya bernama Mai Lamah. Suatu ketika, mereka memutuskan merantau ke Pulau Bunguran tuk mengadu nasib. Mereka memilih Pulau Bunguran karena daerah tersebut terkenal memiliki banyak kekayaan laut, terutama kerang dan siput.
Ketika pertama kali tinggal di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan sebagaimana umumnya warga yg tinggal di pulau tersebut. Setiap hari, dia pergi ke laut mencari siput-lolak (kerang-kerangan yg kulitnya bisa dibuat perhiasan), kelekuk-kulai (siput mutiara), dan beragam jenis kerang-lokan. Sedangkan istrinya, Mai Lamah, membantu suaminya membuka kulit kerang tuk dibuat perhiasan.
Baitusen dan istrinya pun merasa senang dan betah tinggal di Pulau Bunguran, karena warga pulau tersebut menunjukkan sikap yg ramah dan penuh persaudaraan. Kebetulan rumah mereka bersebelahan dengn rumah Mak Semah, seorang bidan kampung yg miskin, tapi baik hati.
“Jika suatu ketika kalian sakit-mentak (sakit-sakitan), panggil saja Emak! Emak pasti akan datang,” pesan Mak Semah kepada Mai Lamah, tetangga barunya itu.
“Terim kasih, Mak!” ucap Mai Lamah dengn senang hati.
Begitu pula warga Bunguran lainnya, mereka senantiasa bersikap baik terhadap Baitusen dan istrinya, sehingga hanya dalam waktu beberapa bulan tinggal di daerah itu, mereka sudah merasa menjadi penduduk setempat.
“Bang! Sejak berada di kampung ini, Adik tak pernah merasa sebagai pendatang. Semua penduduk di sini menganggap kita sebagai saudara sendiri,” kata Mai Lamah kepada suaminya.
“Begitulah kalau kita pandai membawa diri di kampung halaman orang,” pungkas Baitusen.
Waktu terus berjalan. Baitusen semakin rajin pergi ke laut mencari kerang dan siput. DIa berangkat ke laut sebelum matahari terbit di ufuk timur dan baru pulang saat matahari mulai terbenam. Daerah pencariannya pun semakin jauh hingga ke daerah pesisir Pulau Bunguran Timur.
Pada suatu hari, Baitusen menemukan sebuah lubuk teripang, di mana terdapat ribuan ekor teripang (sejenis binatang laut) di dalamnya. Sejak menemukan lubuk teripang, dia tak pernah lagi mencari kerang dan siput. Ia berharap bahwa dengn mencari teripang hidupnya akan menjadi lebih baik, karena harga teripang kering di bandar Singapura dan di pasar Kwan Tong di Negeri Cina sangatlah mahal. DIa pun membawa pulang teripang-teripang tuk dikeringkan lalu dijual ke Negeri Singapura dan Cina.
Akhirnya, hasil penjualan tersebut benar-benar mengubah nasib Baitusen dan istrinya. Mereka tlah menjadi nelayan kaya raya. Para tauke dari negeri seberang lautan pun berdatangan ke Pulau Bunguran tuk membeli teripang hasil tangkapan Baitusen dengn menggunakan tongkang-wangkang (kapal besar). Setiap enam bulan sekali segala jenis tongkang-wangkang milik para tauke tersebut berlabuh di pelabuhan Bunguran sebelah timur.
Sejak saat itu, Baitusen terkenal sebagai saudagar teripang. Langganannya pun datang dari berbagai negeri. Tak heran jika dalam kurun waktu dua tahun saja, pesisir timur Pulau Bunguran menjadi Bandar yg sangat ramai. Istri Baitusen pun terkenal dengn panggilan Nyonya May Lam oleh para tauke langganan suaminya itu. Rupanya, gelar tersebut membuat Mai Lamah lupa daratan dan lupa dengn asal-usulnya. DIa lupa kalau dirinya dulu hanyalah istri nelayan pencari siput yg miskin dan hidupnya serba kekurangan.
Sejak menjadi istri seorang saudagar kaya, penampilan sehari-hari Mai Lamah berubah. Kini, dia selalu memakai gincu, bedak, dan wangi-wangian. Bukan hanya penampilannya saja yg berubah, tetapi sikap dan perilakunya pun berubah. DIa berusaha menjauhkan diri dari pergaulan, karena jijik bergaul dengn para tetangganya yg miskin, berbau anyir, pedak-bilis (sejenis pekasam ato ikan asin, makanan khas orang Natuna), dan berbau kelekuk (siput) busuk. Selain itu, dia juga menjadi pelokek (sangat kikir) dan kedekut (pelit).
Pada suatu hari, Mak Semah datang ke rumahnya hendak meminjam beras kepadanya. Namun malang bagi Mak Semah, bukannya beras yg ia peroleh dari Mai Lamah, melainkan cibiran.
“Hai, perempuan miskin! Tak punya kebun sekangkang-kera (bidal tuk menentukan luas tanah ladang/perkebunan), masih saja pinjam terus. Dengn apa kamu akan membayar hutangmu?” Mai Lamah mencemooh Mak Semah.
Mendengar cemoohan itu, Mak Semah hanya terdiam menunduk. Sementara suami Mai Lamah yg juga hadir di tempat itu, berusaha tuk membujuk istrinya.
“Istriku, penuhilah permintaan Mak Semah! Bukankah dia tetangga kita yg baik hati. Dulu dia tlah banyak membantu kita.”
“Ah, persetan dengn yg dulu-dulu itu! Dulu itu dulu, sekarang ya sekarang!” seru Mai Lamah dengn ketus.
Begitulah sikap dan perlakuan Mai Lamah kepada setiap warga miskin yg datang ke rumahnya tuk meminta bantuan. Dengn sikapnya itu, para warga pun menjauhinya dan enggan tuk bergaul dengnnya.
Suatu ketika, tiba juga masanya Mai Lamah membutuhkan pertolongan tetanggannya. DIa hendak melahirkan, sedangkan Mak Bidan dari pulau seberang belum juga datang. Baitusen telah berkali-kali meminta bantuan Mak Semah dan warga lainnya, namun tak seorang pun yg bersedia menolong. Mereka sakit hati karena sering dicemooh oleh istrinya, Mai Lamah.
“Ah, buat apa menolong Mai Lamah yg kedekut itu! Biar dia tau rasa dan sadar bahwa budi baik dan hidup bertegur sapa itu jauh lebih berharga dari pada harta benda,” cetus Mak Saiyah, seorang istri nelayan, tetangga Mai Lamah.
Baitusen yg tak tega lagi melihat keadaan istrinya itu segera mengajaknya ke pulau seberang tuk mencari bidan.
“Ayo, kita ke pulau seberang saja, Istriku!” ajak Baitusen sambil memapah istrinya naik ke perahu.
“Bang! Jangan lupa membawa serta peti emas dan perak kita! Bawa semua naik ke perahu!” seru Mai Lamah sambil menahan rasa sakit.
“Baiklah, Istriku!” jawab Baitusen.
Setelah mengantar istrinya naik ke atas perahu, Baitusen kembali ke rumahnya tuk mengambil peti emas dan perak tersebut. Setelah itu, mereka pun berangkat menuju ke pulau seberang. Dengn susah payah, saudagar kaya itu mengayuh perahunya melawan arus gelombang laut. Semakin ke tengah, gelombang laut semakin besar. Percikan air laut pun semakin banyak yg masuk ke dalam perahu mereka. Lama-kelamaan, perahu itu semakin berat muatannya dan akhirnya tenggelam bersama seluruh peti emas dan perak ke dasar laut.
Sementara Baitusen dan istrinya berusaha menyelamatkan diri. Mereka berenang menuju ke pantai Bungurun Timur mengikuti arus gelombang laut. Tubuh Mai Lamah timbul tenggelam di permukaan air laut, karena keberatan oleh kandungannya dan ditambah pula dengn gelang-cincin, kalung lokit (liontin emas), dan subang emas yg melilit di tubuhnya. Untungnya, dia masih bisa berpegang pada tali pinggang suaminya yg terbuat dari kulit kayu terap yg cukup kuat, sehingga bisa selamat sampai di pantai Bunguran Timur bersama suaminya. Namun, malang nasib istri saudagar kaya yg kedekut itu, bumi Bunguran tak mau lagi menerimanya. Saat itu, angin pun bertiup kencang disertai hujan deras. Petir menyambar-nyambar disusul suara guntur yg menggelegar. Tak berapa lama kemudian, tubuh Mai Lamah menjelma menjadi batu besar dlam keadaan berbadan dua. Lama-kelamaan batu besar itu berubah menjadi sebuah pulau. Oleh masyarakat setempat, pulau tersebut dinamakan “Sanua” yg berarti satu tubuh berbadan dua. Sementara emas dan perak yg melilit tubuh Mai Lamah menjelma menjadi burung layang-layang putih ato lebih kenal dengn burung walet. Hingga kini, Pulau Bunguran terkenal sebagai pulau sarang burung layang-layang putih itu.
----------------------------------------------------------------------------------------
Gimana bagus gak cerita dalam cerpen di atas? Kalo adik-adik tertarik dengan cerpen bobo lainnya, silahkan baca aja di sini. Atau bisa juga baca di web bobo, ini dia web resminya: Bobo. Sampai berjumpa lagi di cerpen berikutnya, bey...
Untuk lebih lengkap tentang apa yang sedang Anda cari, Silahkan lihat dalam "Daftar Isi" di tombol menu atas!