CERPEN BOBO Ke-38, Batu Menangis

Cerpen Bobo Ke-38 Ini Ceritanya Berjudul "Batu Menangis", Semoga Adik-Adik Bisa Mengambil Hikmahnya Ya


Cerpen ini bukan kakak yang membuatnya, kakak hanya mengumpulkan cerpen-cerpen yang paling bagus menurut kakak dari berbagai sumber. Tapi sumber yang paling banyak kakak pilih adalah dari web resmi Bobo-nya langsung. Selamat membaca...

CERPEN BOBO, Batu Menangis, Cerita Rakyat Kalimantan Barat

----------------------------------------------------------------------------------------
Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah seorang janda tua dengn seorang putrinya yg cantik jelita bernama Darmi. Mereka tinggal di sebuah gubuk yg terletak di ujung desa. Sejak ayah Darmi meninggal, kehidupan mereka menjadi susah.

Ayah Darmi gak meninggalkan harta warisan sedikit pun. Tuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ibu Darmi bekerja di sawah ato ladang orang lain sebagai buruh upahan. Sementara putrinya, Darmi, seorang gadis yg manja. Apapun yg dimintanya harus dikabulkan. Selain manja, dia juga seorang gadis yg malas. Kerjanya hanya bersolek dan mengagumi kecantikannya di depan cermin.

Setiap sore dia slalu hilir-mudik di kampungnya tanpa tujuan yg jelas, kecuali hanya tuk mempertontonkan kecantikannya. Dia sama sekali gak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah, dia slalu menolak.
”Nak! Ayo bantu Ibu bekerja di sawah,” ajak sang Ibu.
”gak, Bu! Aku gak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan kulitku kotor terkena lumpur,” jawab Darmi menolak.
”Apakah kamu gak kasihan melihat Ibu, Nak?” tanya sang Ibu mengiba.
”gak! Ibu saja yg sudah tua bekerja di sawah, karena gak mungkin lagi ada laki-laki yg tertarik pada wajah Ibu yg sudah keriput itu,” jawab Darmi dengn ketus.
Mendegar jawaban anaknya itu, sang Ibu gak bisa berkata-kata lagi. Dengn perasaan sedih, dia pun berangkat ke sawah tuk bekerja. Sementara si Darmi tetap saja tinggal di gubuk, terus bersolek tuk mempecantik dirinya. Setelah ibunya pulang dari sawah, Darmi meminta uang upah yg diperoleh Ibunya tuk dibelikan alat-alat kecantikan.

”Bu! Mana uang upahnya itu!” seru Darmi kepada Ibunya.
”Jangan, Nak! Uang ini tuk membeli kebutuhan hidup kita hari ini,” ujar sang Ibu. ”Tapi, Bu! Bedakku sudah habis. Saya harus beli yg baru,” kata Darmi.
”Kamu memang anak gak tahu diri! Tahunya menghabiskan uang, tapi gak mau bekerja,” kata sang Ibu kesal.

Meskipun marah, sang Ibu tetap memberikan uang itu kepada Darmi. Keesokan harinya, ketika ibunya pulang dari bekerja, si Darmi meminta lagi uang upah yg diperoleh ibunya tuk membeli alat kecantikannya yg lain. Keadaan demikian terjadi hampir setiap hari.

Pada suatu hari, ketika ibunya hendak ke pasar, Darmi berpesan agar dibelikan sebuah alat kecantikan. Tapi, ibunya gak tahu alat kecantikan yg dia maksud. Kemudian ibunya mengajaknya ikut ke pasar.

”Kalau begitu, ayo temani Ibu ke pasar!” ajak Ibunya.
”Aku gak mau pergi ke pasar bersama Ibu!” jawab Darmi menolak ajakan Ibunya.
”Tapi, Ibu gak tahu alat kecantikan yg kamu maksud itu, Nak!” seru Ibunya.
Namun setelah didesak, Darmi pun bersedia menemani Ibunya ke pasar.
”Aku mau ikut Ibu ke pasar, tapi dengn syarat Ibu harus berjalan di belakangku,” kata Darmi kepada Ibunya.
”Memang kenapa, Nak!” tanya Ibunya penasaran.
”Aku malu kepada orang-orang kampung jika berjalan berdampingan dengn Ibu,” jawab Darmi.
”Kenapa harus malu, Nak? Bukankah aku ini Ibu kandungmu?” tanya sang Ibu.
”Ibu seharusnya berkaca. Lihat wajah Ibu yg sudah keriput dan pakaian ibu sangat kotor itu! Aku malu punya Ibu berantakan seperti itu!” seru Darmi dengn nada merendahkan Ibunya.

Walaupun sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya. Setelah itu, berangkatlah mereka ke pasar secara beriringan. Si Darmi berjalan di depan, sedangkan Ibunya mengikuti dari berlakang dengn membawa keranjang. Meskipun keduanya ibu dan anak, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah mereka bukan keluarga yg sama. Sang Anak terlihat cantik dengn pakaian yg bagus, sedangkan sang Ibu kelihatan sangat tua dengn pakaian yg sangat kotor dan penuh tambalan.

Di tengah perjalanan, Darmi bertemu dengn temannya yg tinggal di kampung lain.
”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya temannya itu.
”Ke pasar!” jawab Darmi dengn pelan.
”Lalu, siapa orang di belakangmu itu? Apakah dia ibumu?” tanya lagi temannya sambil menunjuk orang tua yg membawa keranjang.
”Tentu saja bukan ibuku! Dia adalah pembantuku,” jawab Darmi dengn nada sinis.

Laksana disambar petir orang tua itu mendengar ucapan putrinya. Tapi dia hanya terdiam sambil menahan rasa sedih. Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju ke pasar. gak berapa lama berjalan, mereka bertemu lagi dengn seseorang.

”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya orang itu.
”Hendak ke pasar,” jawab Darmi singkat.
”Siapa yg di belakangmu itu?” tanya lagi orang itu.
”Dia pembantuku,” jawab Darmi mulai kesal dengn pertanyaan-pertanyaan itu.

Jawaban yg dilontarkan Darmi itu membuat hati ibunya semakin sedih. Tapi, sang Ibu masih kuat menahan rasa sedihnya. Begitulah yg terjadi terus-menerus selama dalam perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya, sang Ibu berhenti, lalu duduk di pinggir jalan.

”Bu! Kenapa berhenti?” tanya Darmi heran. Beberapa kali Darmi bertanya, namun sang Ibu tetap saja gak menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, Darmi melihat mulut ibunya komat-komit sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.
”Hei, Ibu sedang apa?” tanya Darmi dengn nada membentak. Sang Ibu tetap saja gak menjawab pertanyaan anaknya. dia tetap berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yg durhaka itu.
”Ya, Tuhan! Ampunilah hambamu yg lemah ini. Hamba sudah gak sanggup lagi menghadapi sikap anak hamba yg durhaka ini. Berikanlah hukuman yg setimpal kepadanya!” doa sang Ibu.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun. Pelan-pelan, kaki Darmi berubah menjadi batu. Darmi pun mulai panik.

”Ibu…! Ibu… ! Apa yg terjadi dengn kakiku, Bu?” tanya Darmi sambil berteriak.
”Maafkan Darmi! Maafkan Darmi, Bu! Darmi gak akan mengulanginya lagi, Bu!” seru Darmi semakin panik.

Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu gak dapat lagi dihindari. Perlahan-lahan, seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki, badan, hingga ke kepala. Gadis durhaka itu hanya bisa menangis dan menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang Ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Semua orang yg lewat di tempat itu juga ikut menyaksikan peristiwa itu. gak berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala. Seluruh tubuh Darmi tlah menjelma menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu Menangis. Batu itu masih tetap dipelihara dengn baik, sehingga masih dapat kita saksikan hingga sekarang.
----------------------------------------------------------------------------------------
Gimana bagus gak cerita dalam cerpen di atas? Kalo adik-adik tertarik dengan cerpen bobo lainnya, silahkan baca aja di sini. Atau bisa juga baca di web bobo, ini dia web resminya: Bobo. Sampai berjumpa lagi di cerpen berikutnya, bey...

Untuk lebih lengkap tentang apa yang sedang Anda cari, Silahkan lihat dalam "Daftar Isi" di tombol menu atas!

Related Post