Cerpen Bobo Ke-85 Ini Ceritanya Berjudul "Si Pitung", Semoga Adik-Adik Bisa Mengambil Hikmahnya Ya
Cerpen ini bukan kakak yang membuatnya, kakak hanya mengumpulkan cerpen-cerpen yang paling bagus menurut kakak dari berbagai sumber. Tapi sumber yang paling banyak kakak pilih adalah dari web resmi Bobo-nya langsung. Selamat membaca...
CERPEN BOBO, Si Pitung, Cerita Rakyat DKI Jakarta
----------------------------------------------------------------------------------------
Pada suatu sore, Pak Piun duduk-duduk di depan rumahnya. Seharian dia bekerja di sawah, dan sore itu dia ingin melepas lelah bersama keluarganya. Bu Pinah, istrinya, duduk di balai-balai bambu sambil memegangi perutnya yg membuncit. Beberapa hari lagi Bu Pinah akan melahirkan. Pak Piun tersenyum bahagia, sembari menggumamkan doa, semoga anak yg lahir kelak akan menjadi anak yg berguna.Tiba-tiba salah satu dari ketiga anaknya yg duduk di dekat Bu Pinah bertanya kepada Pak Piun.
“Pak, kenapa padi yg baru saja dipanen dirampas oleh centeng-centeng Babah Liem?”
Pak Piun terdiam sejenak, lalu menjawab dengn pelan.
“Biarlah, Nak. Lagipula kita masih punya padi.”
Sebenarnya, hati Pak Piun sedih bukan kepalang. Dia pun risau karena padi yg baru saja dipanen tiba-tiba saja dirampas oleh centeng-centeng Babah. Namun, di daerah itu, rakyat jelata seperti dia tak bisa melawan perampasan itu.
Kampung Rawabelong, kampungnya, adalah bagian dari partikelir Kebayoran. Tuan Tanah yg berkuasa di sana adalah Liem Tjeng Soen. Tanah partikelir itu diperoleh dari pemerintahan Belanda melalui pembelian dokumen tanah, serta kesediaan tuk membayar pajak kepada Belanda.
Tuk menjaga tanah itu, Babah Liem mengangkat centeng-centeng dari kalangan pribumi. Mereka bertugas menagih pajak kepada penduduk. Para penduduk tak berani melawan centeng-centeng yg pandai bersilat dan mahir memainkan senjata itu. Maka, mereka hanya terdiam ketika centeng-centeng mengambili ayam, kambing, padi, dan apa saja yg bisa dibawa.
Beberapa hari kemudian, Bu Pinah melahirkan. Pak Piun menamai anak yg baru lahir itu Pitung, dan memanggilnya dengn nama si Pitung. Sebagaimana anak-anak Betawi umumnya, Pitung dibesarkan dlam keluarganya sendiri. Dia diajari tata krama, belajar mengaji, membantu ayahnya menanam padi, memetik kelapa, dan mencari rumput tuk pakan kambing. Adakalanya Pitung membantu tetangga-tetangganya tanpa diminta.
Pitung pun rajin menunaikan perintah Allah, sholat dan puasa, serta slalu bertutur kata dengn santun dan patuh kepada kedua orangtuanya.
Pitung belajar pengetahuan agama dan silat serta ilmu bela diri lainnya dari Haji Naipin, seorang ulama yg dihormati di kampung Rawabelong. Karena Pitung patuh dan rajin berlatih, dia menjadi murid kesaygan Haji Naipin. Kepadanya seluruh ilmu Haji Naipin dicurahkan, dengn harapan kelak dia menjadi murid yg berguna bagi masyarakat. Haji Naipin bahkan memberikan ilmu Pancasona, sebuah ilmu kebal senjata, kepada Pitung. Kata Haji Naipin, “Ilmu ini buat membela yg lemah dari kezaliman, bukan tuk menzalimi orang.”
Meski menjadi murid kesaygan Haji Naipin, tetapi Pitung slalu rendah hati. Kepada orang lain dia slalu bersikap santun dan terpuji. Dia pun tak luput dari gejolak masa muda. Dia menjalin hubungan dengn Aisyah, dan berjanji akan menikah bila kelak usia mereka sudah pantas tuk menikah.
Pada suatu hari, Pitung menyaksikan sendiri kesewenang-wenangan centeng-centeng Babah Liem. Centeng-centeng itu mendatangi rumah tetangganya dan merampas ayam, kambing, kelapa, dan simpanan padi di lumbung. Sebagai pemuda, darahnya mendidih. dia ingin menghajar mereka.
Namun, ibunya mencegah Pitung.
“Jangan, Tung. Mereka punya kuasa. Nanti juga mereka mendapatkan hukuman sendiri.”
Karena ingin mematuhi nasehat ibunya, Pitung mengurungkan niatnya tuk menghajar centeng-centeng itu. Namun, di hari lain, ketika dia sedang berkunjung di kampung tetangga, dia melihat lagi centeng-centeng itu bertindak sewenang-wenang.
Pitung tak bisa menahan diri lagi. Dihampirinya centeng-centeng yg sedang sibuk merampasi barang keluarga yg malang itu.
“Hei, para pengecut!” seru Pitung. “Kenapa kalian merampas harta orang lain? Pakai keroyokan lagi. Sendiri-sendiri kalau berani!”
Pemimpin centeng menoleh kepada Pitung dan tersenyum merendahkan.
“Hai, kamu tak tahu siapa kami ini ya? Pantas saja kamu berani membentak-bentak seperti itu.”
“Cuih!” Pitung meludah dengn marah. “Kalian hanya berani mengeroyok orang yg lemah. Sini, kalau berani bertarung melawanku.”
Pemimpin centeng itu menjadi geram. Dia menyerang Pitung sekenanya saja, mengira bahwa Pitung akan mudah dirobohkan. Namun, di luar dugaannya, Pitung malah mencekal lengannya dan membantingnya ke tanah hingga pingsan. Centeng-centeng yg lain menghentikan kesibukan mereka dan mengepung Pitung. Dengn sigap Pitung menyerang lebih dulu. Ada lima centeng yg mengeroyoknya. Satu demi satu dia hajar pelipis atau tulang kering mereka hingga mereka mengaduh kesakitan. Lalu mereka menggotong pimpinan centeng yg masih pingsan dan melarikan diri.
Sebelum pergi, mereka mengancam: “Awas, nanti kami laporkan Demang.”
Beberapa hari setelah peristiwa itu, nama Pitung menjadi buah bibir di seluruh Kebayoran. Namun, Pitung tak mau congkak. Dia bahkan menghindar kalau ada orang yg bertanya kepadanya tentang kejadian itu.
Suatu hari, Pak Piun menyuruh Pitung menjual kambing ke Pasar Tanah Abang. Pak Piun sedang membutuhkan uang tuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pitung pun mengeluarkan dua ekor kambing dari kandang dan menuju ke Pasar Tanah Abang. Tanpa sepengetahuannya, ada seorang centeng yg membuntutinya. Centeng itu terus mengawasi Pitung ketika Pitung mengantongi uang hasil penjualan kambing. Bahkan ketika Pitung berjalan pulang dan singgah di sebuah mushola, orang itu tetap membuntutinya. Ketika Pitung melepas bajunya tuk mandi di sungai dan berwudhu, orang itu mencuri uang di saku baju Pitung.
Pitung sampai di rumah dan dimarahi ayahnya karena uang itu hilang. Dengn geram dia kembali ke Pasar Tanah Abang dan mencari orang yg tlah mencuri uangnya. Setelah melakukan penyelidikan, dia menemukan orang itu. Orang itu sedang berkumpul dengn centeng-centeng lainnya di sebuah kedai kopi.
Pitung mendatanginya dan menghardik, “Kembalikan uangku!”
Para centeng itu tertawa.
Salah seorang berkata, “Kamu boleh ambil uang ini, tapi kamu harus menjadi anggota kami.”
“Cuh! Tak sudi aku jadi maling,” jawab Pitung dengn kasar.
Para centeng itu marah mendengar jawaban Pitung. Serentak mereka menyerbu Pitung. Namun, yg mereka hadapi adalah Si Pitung dari Kampung Rawabelong yg pernah menghajar enam orang centeng Babah Liem sendirian. Akibatnya, satu demi satu mereka kena tinju Si Pitung. Yang berani menggunakan senjata malah dimakan sendiri oleh senjata mereka.
Sejak hari itu, Si Pitung memutuskan tuk membela orang-orang yg lemah. Dia tak tahan lagi melihat penderitaan rakyat jelata, yg ditindas centeng-centeng tuan tanah dan dihisap oleh penjajah Belanda. Beberapa centeng yg pernah dihajarnya ada yg insyaf dan dia mengajak mereka tuk membentuk suatu kelompok. Bersama kelompoknya, dia merampoki rumah-rumah orang kaya dan membagi-bagikan harta rampasannya kepada orang-orang miskin dan lemah.
Nama Pitung menjadi harum di kalangan rakyat jelata. Namun, pada saat yg bersamaan, muncul juga kelompok-kelompok lain yg ikut-ikutan merampok atas nama Si Pitung. Para tuan tanah dan orang-orang yg mengambil keuntungan dengn cara memihak Belanda menjadi tak tenteram. Mereka mengadukan persoalan itu kepada pemerintah Belanda.
Penguasa penjajah di Batavia pun memerintahkan aparat-aparatnya tuk menangkap Si Pitung. Schout Heyne, kontrolir Kebayoran, memerintahkan mantri polisi dan bek tuk mencari tahu di mana Pitung berada. Schout Heyne menjanjikan uang banyak kepada siapa saja yg mau memberi tahu keberadaan si Pitung
Mengetahui dirinya menjadi buron, Pitung berpindah-pindah tempat, bahkan pernah sampai ke Marunda. Selama itu, dia tetap melaksanakan perampasan harta orang-orang kaya, para demang dan tuan tanah. Harta rampasan slalu dia berikan kepada rakyat yg lemah dan tertindas oleh penjajahan.
Namun, pada suatu hari, Pitung dan kelompoknya terjebak oleh siasat polisi. Waktu itu mereka akan merampok rumah seorang demang. Polisi sudah lebih dulu bersembunyi di sekitar rumah demang itu. Ketika kelompok Pitung tiba, polisi segera mengepung rumah itu. Pitung membiarkan dirinya tertangkap, sementara teman-temannya berhasil meloloskan diri. Dia dibawa ke penjara Grogol dan disekap di sana.
Namun, karena selalu memikirkan nasib rakyat, dia meloloskan diri lewat genteng pada suatu malam. Para penjaga menjadi panik karenanya.
“Wah, bagaimana ini? Ke mana si Pitung” tanya mereka kepada teman satu sel Pitung.
“Saya tak tahu. Pitung kan sakti. Dia bisa menghilang,” jawab teman satu sel Pitung.
Kabar bahwa Pitung lolos membuat kontrolir dan orang-orang kaya menjadi tak tenteram lagi. Schout Heyne memerintahkan orang tuk menangkap Pak Piun dan Haji Naipin. Kedua orang itu disiksa agar memberitahukan di mana Si Pitung berada. Namun, keduanya bungkam. Akibatnya, mereka berdua pun dibui di Grogol.
Sementara itu, Pitung terus menjalankan kegiatannya. Namun, dia menjadi berpikir panjang ketika mendengar kabar bahwa ayah dan gurunya dibui polisi. Dia mengirim pesan bahwa dia bersedia menyerahkan diri bila kedua orang itu dibebaskan. Schout Heyne setuju.
Pada hari yg ditentukan, mereka membawa Haji Naipin ke tanah lapang. Pak Piun sudah lebih dulu dibebaskan. Di tanah lapang itu, sepasukan polisi menodongkan senjata kepada Haji Naipin. Pitung muncul sendirian. Schout Heyne menyuruh Pitung menyerah. Pitung meminta agar Haji Naipin dilepaskan dulu.
Setelah Haji Naipin dilepaskan, Pitung maju menghadapi Schout Heyne. Pasukan polisi kini membidikkan senjata mereka kepada Pitung.
“Huh, tertangkap juga kamu, Pitung!” dengus Schout Heyne dengn nada sombong.
“Iya, tapi nanti aku pasti akan lolos lagi. Dengn orang pengecut seperti kalian, yg beraninya hanya mengandalkan anak buah, aku tak takut,” jawab Pitung.
Schout Heyne menjadi marah. Dia mundur beberapa langkah dan memberi aba-aba agar pasukannya bersiap menembak. Haji Naipin yg masih ada di situ memprotes tindakan yg pengecut itu. Namun, sudah terlanjur, perintah menembak sudah diberikan, dan Pitung pun roboh bersimbah darah.
Pitung dimakamkan beberapa hari kemudian. Banyak rakyat yg turut mengiringi pemakamannya dan mendoakannya. Mereka akan slalu mengingat jasa Si Pitung, pembela dan pelindung mereka.
Beberapa bulan kemudian Schout Heyne dipecat dari jabatannya karena dia tlah menembak orang yg tak melawan ketika ditangkap.
----------------------------------------------------------------------------------------
Gimana bagus gak cerita dalam cerpen di atas? Kalo adik-adik tertarik dengan cerpen bobo lainnya, silahkan baca aja di sini. Atau bisa juga baca di web bobo, ini dia web resminya: Bobo. Sampai berjumpa lagi di cerpen berikutnya, bey...
Untuk lebih lengkap tentang apa yang sedang Anda cari, Silahkan lihat dalam "Daftar Isi" di tombol menu atas!