Cerpen Bobo Ke-40 Ini Ceritanya Berjudul "Ambun dan Rimbun", Semoga Adik-Adik Bisa Mengambil Hikmahnya Ya
Cerpen ini bukan kakak yang membuatnya, kakak hanya mengumpulkan cerpen-cerpen yang paling bagus menurut kakak dari berbagai sumber. Tapi sumber yang paling banyak kakak pilih adalah dari web resmi Bobo-nya langsung. Selamat membaca...
CERPEN BOBO, Ambun dan Rimbun, Cerita Rakyat Kalimantan Tengah
----------------------------------------------------------------------------------------
Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah, hiduplah seorang janda bersama dua orang anak laki-lakinya yg sudah remaja. Anak pertamanya bernama Ambun, sedangkan anak keduanya bernama Rimbun. Banyak orang di kampung itu mengira mereka saudara kembar, karena wajah dan perawakan keduanya mirip sekali. Namun sebenarnya mereka bukanlah saudara kembar, karena umur keduanya selisih satu tahun.Ambun dan Rimbun adalah anak yg rajin dan hormat kepada orang tua. Setiap hari mereka membantu ibunya mencari kayu bakar ke hutan dan menjualnya ke pasar.
Pada suatu sore, Rimbun melihat abangnya termenung seorang diri di beranda rumah mereka.
“Bang! Apa yg sedang Abang pikirkan?” tanya Rimbun.
“Abang sedang memikirkan nasib keluarga kita. Kalau setiap hari hanya mencari kayu bakar, kehidupan kita gak akan pernah membaik,” keluh Ambun.
“Lalu, apa rencana Abang?” tanya Rimbun.
“Abang akan pergi merantau tuk mengubah nasib keluarga kita. Banyak orang di kampung ini kehidupannya menjadi lebih baik sepulangnya dari merantau,” jelas Ambun.
“Wah, kalau begitu, Adik akan ikut Abang,” kata Rimbun.
“Jangan, Dik! Kamu di sini saja menemani ibu. Kalau Adik ikut, kasihan ibu ditinggal sendiri,” cegah Ambun.
“Gak, Bang! Adik harus ikut Abang,” tegas Rimbun bersikukuh ingin pergi merantau bersama Abangnya.
“Baiklah, kalau begitu,” kata Rimbun mengizinkan adiknya ikut serta.
Malam harinya, kedua kakak-beradik itu menyampaikan niat mereka kepada sang Ibu. Mendengar hal itu, sang Ibu hanya terdiam. Ia bingung bagaimana menyikapi keinginan kedua putranya. Menurutnya, apa yg dikatakan kedua putranya itu memang benar, bahwa merantau bisa memperbaiki kehidupan keluarga mereka, tetapi di satu sisi, umur mereka masih sangat muda.
“Bagaimana, Bu? Apakah ibu mengizinkan kami pergi?” Ambun kembali bertanya.
“Sebenarnya Ibu merasa berat mengizinkan kalian pergi. Ibu khawatir terhadap keselamatan kalian berdua di rantau. Kalian masih terlalu muda tuk merantau,” jawab sang Ibu dengn berat hati.
“Iya, Bu! Tapi, kami berdua bisa jaga diri dan saling menjaga,” sahut Rimbun.
“Baiklah, kalau memang kalian bersikukuh akan pergi, Ibu mengizinkan. Tapi Ibu berpesan, kalian harus menghormati orang lain dan jangan berpisah. Kalaupun harus berpisah, hendaknya kalian saling mengabari,” ujar sang Ibu.
“Terima kasih, Bu!” ucap keduanya serentak dengn perasaan gembira.
Ambun dan Rimbun segera menyiapkan segala keperluan mereka, termasuk celana dan baju mereka yg terbuat dari kulit kayu. Sementara sang Ibu sibuk menyiapkan makanan tuk bekal mereka di jalan. Ia memasak empat belas buah ketupat dan empat belas butir telur ayam tuk mereka berdua. Masing-masing menbisa tujuh buah ketupat dan tujuh biji telur ayam. Setelah itu, ia mengambil beberapa butir beras dan mencelupkannya ke dlam air, lalu mengoleskannya di ubun-ubun mereka seraya berdoa:
“Semoga Ranying Hatalla Langit (semoga Tuhan melidungi kalian berdua).”
Saat tengah malam, perempuan paruh baya itu membuka sebuah peti besi kecil berisi dua bilah dohong (keris pusaka) yg bentuk dan ukurannya sama. Yang satu berlilitkan kain merah dan yg satunya lagi berlilitkan kain kuning. Yang berlilitkan kain merah diserahkan kepada Ambun, sedangkan yg berlilitkan kain kuning diberikan kepada Rimbun.
“Senjata pusaka ini adalah peninggalan almarhum ayah kalian. Tapi, ingat! Senjata ini hanya boleh kalian gunakan jika dlam keadaan mendesak,” pesan sang Ibu seraya mencium kening kedua putra tercintanya.
“Baik, Bu! Kami akan selalu mengingat pesan Ibu,” kata Ambun dan Rimbun serentak.
Keesokan harinya, Ambun dan Rimbun bersiap-siap tuk berangkat dan berpamitan kepada sang Ibu tercinta. Suasana haru pun menyelimuti hati sang Ibu dan kedua putranya itu. Air mata sang Ibu gak bisa dibendung lagi. Demikian pula kedua orang kakak-beradik itu. Mereka gak kuat menahan rasa haru.
“Berangkatlah, Nak! Nanti kalian kemalaman di jalan. Jika sudah berhasil, cepatlah kembali menemani Ibu di sini!” pesan sang Ibu.
“Baik, Bu! Kami akan segera kembali jika sudah berhasil,” jawab keduanya serentak.
Usai mencium tangan sang Ibu, keduanya pun pergi meninggalkan kampung halaman mereka. Sang Ibu berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan mengiringi kepergian kedua putranya. Setelah keduanya menghilang di tikungan jalan kampung, barulah ia masuk ke dlam rumah.
Ambun dan Rimbun berjalan mendaki gunung, menuruni lembah, dan menyeberangi sungai. Mereka berjalan mengikuti arah matahari terbenam. Saat malam tiba, mereka berhenti tuk beristirahat. Ketupat dan telur pemberian sang Ibu mereka makan sedikit-sedikit. Ketika matahari mulai menampakkan wajahnya di ufuk timur, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tak terasa, sudah berhari-hari mereka berjalan.
Ketika memasuki hari ketujuh, Rimbun mendadak jatuh sakit, karena kelelahan berjalan jauh. Melihat kondisi adiknya itu, Ambun menjadi panik. Ia pun mencoba mengobati adiknya dengn memberinya minuman dari berbagai macam air akar-akaran. Namun, gak satu pun yg mampu menyembuhkannya. Tak terasa air matanya pun bercucuran membasahi pipinya. Ia sangat menyesal dan merasa bersalah karena telah mengizinkan adiknya ikut serta. Beberapa saat kemudian, Rimbun akhirnya meninggal dunia.
“Rimbun… Adikku! Jangan tinggalkan Abang…!” teriak Ambun memecah kesunyian di tengah hutan.
Namun apa hendak diperbuat, adik tercintanya benar-benar tlah menghembuskan nafas terakhirnya. Dengn diselimuti perasaan sedih, Ambun segera menggali lubang tuk kuburan adiknya. Setelah menguburkan jazad adiknya, Ambun mencabut dohong adiknya. Mata dohong itu ditancapkan di bagian kepala, sedangkan warangkanya ditancapkan di bagian kaki kuburan itu. Sementara kain berwarna kuning pembungkus dohong itu diikatkan pada nisannya.
Setelah itu, Ambun melanjutkan perjalanan dengn menyusuri hutan lebat. Saat hari menjelang siang, perutnya terasa lapar. Dia pun membuka bungkusan makanannya di bawah sebuah pohon besar dan tinggi. Setelah bungkusan itu terbuka, barulah ia menyadari ternyata bekalnya sudah habis. Hatinya pun mulai cemas. Dia lalu memanjat pohon besar dan tinggi tempatnya berteduh itu. Sesampainya di atas, dia melihat kepulan asap gak jauh dari tempatnya berada.
“Wah, pasti ada orang di sana,” pikirnya dengn perasaan gembira.
Tanpa berpikir panjang, dia segera turun dari atas pohon lalu berjalan menuju ke arah kepulan asap. Setelah beberapa lama berjalan, terlihatlah sebuah rumah di tengah hutan. Saat menghampiri rumah itu, dia melihat seorang nenek sedang mengumpulkan kayu bakar di samping rumahnya. Agar nenek itu gak terkejut, dia pun mendehem.
“Hemm, sedang apa, Nek?” tanya Ambun.
“Mengumpulkan kayu bakar,” jawab nenek itu.
“Siapa engkau ini anak muda? Kenapa bisa sampai ke tempat ini?” nenek itu balik bertanya.
“Saya Ambun, Nek,” jawab Ambun, lalu ia menceritakan semua peristiwa yg dialaminya hingga sampai di tempat itu.
“Nenek berduka cita atas meninggalnya adikmu,” kata nenek itu dengn perasaan haru.
Oleh karena merasa kasihan, perempuan tua itu mengizinkan Ambun tuk tinggal bersamanya. Setiap hari Ambun membantunya tuk mencari kayu bakar. Si Nenek pun sangat menyaygi Ambun seperti cucunya sendiri.
Pada suatu hari, sambil mengumpulkan kayu bakar, nenek itu bercerita kepada Ambun bahwa sebenarnya dia adalah bagian dari keluarga Kerajaan Sang Sambaratih. Dia diusir karena pernikahannya dengn almarhum suaminya yg berasal dari rakyat biasa. Meskipun dikucilkan dari istana, nenek malang itu masih mendapat perhatian dari sebagian keluarga istana. Hampir setiap minggu ada pengawal istana yg mengantarkan makanan untuknya.
Suatu hari, datanglah dua orang utusan dari istana Sang Sambaratih membawa makanan tuk si Nenek. Sebelum kembali ke istana, kedua utusan tersebut memberitahukan kepadanya bahwa raja akan mengadakan sayembara memetik bunga melati. Barangsiapa yg bisa melompat dari halaman rumah istana sampai ke atap istana tuk mengambil bunga melati, dan menyerahkannya kepada putri raja, maka dia akan dijadikan menantu raja. Akan tetapi jika gagal, maka dia akan mendapat hukuman gantung.
Si Ambun yg mendengar kabar itu, hampir semalaman gak bisa memejamkam matanya. Dia ingin sekali mengikuti sayembara itu. Keesokan harinya, Ambun menemui si Nenek.
“Nek, bolehkah Ambun mengikuti sayembara itu?” tanya Ambun.
“Oh jangan, Cucuku! Kamu akan dihukum gantung jika gagal memetik bunga melati itu,” cegah si Nenek.
“Nenek gak usah khawatir. Ambun pasti bisa mengatasinya,” kata si Ambun seraya memperlihatkan senjata dohongnya.
“Benda apa ini, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Senjata pusaka peninggalan ayahku, Nek. Senjata ini bisa menolong jika diperlukan,” jelas Ambun.
Si Nenek pun yakin dan percaya dengn kata-kata Ambun, dan mengizinkannya tuk mengikuti sayembara tersebut. Keesokan harinya, Ambun sudah bersiap-siap berangkat menuju istana tuk mengikuti sayembara tersebut.
“Maaf, Nek! Ambun ada satu permintaan,” kata Ambun.
“Apakah itu, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Bersediakah Nenek menyaksikan sayembara itu. Jika seandainya Ambun gagal, Nenek bisa menyaksikan Ambun menjalani hukuman gantung, dan saat itu adalah pertemuan terkahir kita,” bujuk Ambun.
Oleh karena sayg kepada Ambun, nenek itu pun memenuhi keinginan Ambun. Maka berangkatlah mereka berdua menuju istana. Selama dlam perjalanan, si Nenek senantiasa diselimuti perasaan cemas. Sementara si Ambun meminta kepada si Nenek tuk mendoakannya agar bisa meraih kemenangan.
Setibanya di halaman istana, penonton sudah penuh sesak dan para peserta sudah bersiap-siap mengikuti sayembara. Peserta sayembara tersebut terdiri dari delapan orang, yaitu tujuh pangeran dari kerajaan bawahan Kerajaan Sang Sambaratih, dan si Ambun sendiri. Satu per satu pangeran tersebut mengeluarkan kesaktiannya, namun tak seorang pun yg berhasil melompat ke atap istana dan memetik bunga melati. Kini giliran Ambun yg akan memperlihatkan kesaktiannya. Ketika Ambun memasuki arena, para penonton bertepuk tangan disertai dengn suara ejekan. Mereka meragukan kemampuan Ambun. Jangankan Ambun yg hanya orang kampung, para pangeran saja gak satu pun yg berhasil melalui ujian itu. Namun dengn penuh percaya diri, Ambun tetap tenang dan berkonsentrasi penuh. Saat mengambil ancang-ancang, dengn suara nyaring Ambun berteriak memanggil ayahnya sambil mencabut dohong pusaka yg terselip dipinggangnya.
Dengn secepat kilat, Ambun melejit ke atas atap memetik bunga melati itu dan menyerahkannya kepada tuan putri yg duduk di samping raja. Seketika itu pula suara tepuk tangan dan teriakan penonton bergemuruh bagaikan membelah bumi. Suara teriakan penonton bukan lagi suara ejekan, melainkan suara kekaguman melihat kesaktian Ambun. Raja yg menyaksikan peristiwa itu langsung berdiri sambil bertepuk tangan dengn penuh kekaguman.
Sementara ketujuh pangeran tersebut merasa gak puas. Mereka pun menyatakan perang kepada raja Sang Sambaratih. Namun atas bantuan Ambun dengn senjata dohongnya, ketujuh pangeran tersebut bisa dikalahkan. Akhirnya, Ambun dinikahkan dengn putri raja. Pesta pernikahannya dilangsungkan dengn meriah selama tujuh hari tujuh malam.
Seminggu setelah pernikahan mereka, raja Sang Sambaratih menyerahkan kekuasaannya kepada Ambun, karena sudah tua. Sejak dinobatkan menjadi raja, Ambun berusaha mencari ibunya. Pada suatu hari, Ambun bersama beberapa orang pengawalnya menyusuri jalan yg pernah dilaluinya ketika ia berangkat merantau. Setelah tujuh hari tujuh malam berjalan, dia pun menemukan ibunya. Alangkah bahagianya sang Ibu saat melihat anaknya kembali dan berhasil menjadi raja. Namun, di satu sisi, sang Ibu tetap bersedih karena kehilangan Rimbun anak bungsunya.
Oleh karena gak ingin melihat ibunya bersedih, Ambun bersama ibu dan para pengawalnya pergi mencari kuburan Rimbun. Setelah menemukan kuburan Rimbun, Ambun segera memerintahkan sebagian pengawalnya tuk menggali kuburan itu, dan memerintahkan sebagian yg lain tuk mencari Danum Kaharingan Belom (air kehidupan) di Bukit Kamiting.
Menjelang sore, pengawal yg diutus ke Bukit Kamiting telah kembali dengn membawa Danun Kaharingan Belom. Ambun segera meneteskan air kehidupan itu ke tulang-tulang adiknya yg sudah terpisah-pisah. Tak lama kemudian, tulang-tulang itu menyusun diri. Daging dan kulitnya pun kembali seperti semula. Akhirnya Rimbun hidup lagi. Keluarga Ambun kini tlah berkumpul kembali.
Setelah itu, Ambun mengajak keluarganya hidup bersama di istana Kerajaan Sang Sambaratih dengn penuh kebahagiaan.
----------------------------------------------------------------------------------------
Gimana bagus gak cerita dalam cerpen di atas? Kalo adik-adik tertarik dengan cerpen bobo lainnya, silahkan baca aja di sini. Atau bisa juga baca di web bobo, ini dia web resminya: Bobo. Sampai berjumpa lagi di cerpen berikutnya, bey...
Untuk lebih lengkap tentang apa yang sedang Anda cari, Silahkan lihat dalam "Daftar Isi" di tombol menu atas!