CERPEN BOBO Ke-36, Legenda Batu Bagga

Cerpen Bobo Ke-36 Ini Ceritanya Berjudul "Legenda Batu Bagga", Semoga Adik-Adik Bisa Mengambil Hikmahnya Ya


Cerpen ini bukan kakak yang membuatnya, kakak hanya mengumpulkan cerpen-cerpen yang paling bagus menurut kakak dari berbagai sumber. Tapi sumber yang paling banyak kakak pilih adalah dari web resmi Bobo-nya langsung. Selamat membaca...

CERPEN BOBO, Legenda Batu Bagga, Cerita Rakyat Sulawesi Tengah

----------------------------------------------------------------------------------------
Konon, di sebuah kampung di daerah pesisir Sulawesi Tengah, Indonesia, hiduplah seorang duda bernama Intobu. Dia tinggal di sebuah gubuk bersama seorang putranya yg bernama Impalak. Mereka hidup sangat miskin. Tuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka pergi ke laut tuk mencari ikan.

Pada suatu malam, ketika Intobu bersama anaknya hendak mencari ikan di laut, tiba-tiba angin bertiup kencang dan hujan deras. Meskipun demikian, dua orang bapak dan anak itu tetap memutuskan tuk melaut. Dalam perjalanan menuju ke laut, Intobu menasehati Impalak.

‘Anakku! Ayah berharap jangan sampai cuaca buruk seperti ini membuatmu patah semangat tuk pergi melaut, karena hanya pekerjaan inilah yg menjadi tumpuan hidup kita.”
“Iya, Ayah! Saya mengerti,” jawab Impalak sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Sesampai di pantai, mereka segera menaiki sampan yg ditambatkan di tepi pantai. dengn sekuat tenaga mereka mendayung sampan menyusuri pantai. Mereka gak berani sampai ke tengah laut, karena cuaca sangat buruk. Mereka hanya memancing ikan di sekitar pantai.

Tidak terasa, malam semakin larut. Mereka pun memutuskan tuk kembali ke gubuk. Setiba di gubuk, beberapa ekor ikan hasil tangkapannya digoreng tuk lauk dan selebihnya mereka jual pada keesokan harinya. Ikan-ikan tersebut mereka jajakan dari rumah ke rumah sampai habis terjual. Setelah semuanya laku terjual, uang hasil penjualan itu mereka belanjakan tuk membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya.

Begitulah pekerjaan mereka setiap hari yg sudah bertahun-tahun jalani. Rupanya pekerjaan itu membuat Impalak menjadi jenuh. Dia ingin pergi merantau ke negeri lain tuk merubah nasib. Sejak itu, dia selalu murung dan merenung. Dia gak berani menyampaikan keinginan itu kepada ayahnya. Selain itu, dia juga belum tega meninggalkan ayahnya seorang diri. Meskipun tekadnya ingin pergi merantau begitu kuat, dia tetap berusaha memendamnya dlam hati.

Pada suatu hari, ayahnya sedang sibuk memperbaiki tali kailnya yg putus. Sementara, Impalak yg duduk di sampingnya hanya duduk termenung.

“Hei, Impalak! Kenapa wajahmu murung seperti itu? Apa yg sedang kamu pikirkan, Nak?” tanya Intobu kepada anaknya.
“Tidak apa-apa, Ayah!” jawab Impalak dengn nada lemah.
“Bicaralah, Nak! Tidak usah kamu pendam dlam hati!” desak ayahnya. Oleh karena terus didesak, akhirnya Impalak berterus terang kepada ayahnya.
“Maafkan saya, Ayah! Sebenarnya saya sudah jenuh menjadi nelayan. Walaupun setiap hari kita ke laut, tapi hasil yg kita peroleh hanya cukup tuk dimakan,” keluh Impalak kepada ayahnya.
“Jika Ayah mengizinkan, Impalak ingin pergi merantau ke negeri lain tuk mengubah nasib kita,” sambung Impalak. Intobu terkejut mendengar permintaan anak semata waygnya itu. “Bagaimana dengn nasib Ayahmu ini, Nak? Umur Ayah sudah semakin tua. Jika kamu pergi, gak ada lagi yg membantu Ayah tuk mendayung sampan,” kata Intobu mengiba kepada anaknya.
“Saya mengerti, Ayah! Tapi, saya sekarang sudah dewasa. Sudah saatnya saya membahagiakan Ayah. Jika Ayah pergi melaut, sebaiknya gak perlu pergi jauh-jauh. Biarlah saya yg bekerja keras mencari nafkah tuk memenuhi kebutuhan kita dan demi masa depan saya,” jelas Impalak meyakinkan ayahnya.

Mendengar penjelasan anaknya itu, Intobu terdiam sejenak. Dia berpikir bahwa apa yg dikatakan anaknya itu memang benar. Jika hanya menjadi nelayan, kehidupan anaknya di masa depan gak akan makmur.

“Baiklah, Nak! Meskipun dengn berat hati, Ayah mengizinkanmu pergi merantau. Tetapi, kamu jangan lupakan Ayah dan cepatlah kembali! Ayah khawatir gak akan bertemu kamu lagi, apalagi umur Ayah sudah semakin tua,” kata Intobu dengn perasaan cemas.
“Baik, Ayah! Saya akan selalu mengingat pesan Ayah,” jawab Impalak dengn perasaan gembira.

Setelah mendapat izin dari ayahnya, Impalak segera ke pelabuhan tuk melihat apakah ada perahu bagga yg sedang berlabuh. Sesampai di pelabuhan, tampaklah sebuah perahu bagga sedang menurunkan muatan. Perahu itulah yg rencananya akan ditumpangi Impalak pergi merantau. Dia pun segera menemui pemilik perahu bagga itu.

“Permisi, Tuan! Bolehkah saya ikut berlayar bersama Tuan?” tanya Impalak tanpa rasa segan. “Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan kenapa hendak ikut berlayar bersamaku?” tanya pemilik perahu.
“Saya Impalak, Tuan! Saya ingin pergi merantau tuk mengubah nasib keluarga saya,” jawab Impalak.
“Memang apa pekerjaannya orang tuamu?” tanya pemilik perahu.
“Ayah saya seorang nelayan biasa, sedangkan ibu saya sudah meninggal saat saya masih kecil. Setiap hari saya membantu ayah memancing ikan di laut. Akan tetapi, hasilnya hanya cukup tuk di makan sehari-hari. Makanya saya ingin pergi merantau tuk mencari nafkah yg lebih baik,” jelas Impalak.
Mendengar penjelasan itu, pemilik perahu itu pun tersentuh hatinya ingin menolong Impalak dan bersedia membawanya ikut berlayar.

“Kamu memang anak yg berbakti, Impalak! Besok pagi kita akan berlayar bersama. Tapi, apakah kamu sudah meminta izin kepada ayahmu?” tanya pemilik perahu.
“Saya sudah mendapat izin dari ayah saya, Tuan!” jawab Impalak.
“Baiklah, kalau begitu! Saya tunggu kamu besok pagi,” kata pemilik perahu itu.
“Terima kasih, Tuan!” ucap Impalak seraya berpamitan pulang. Sesampai di gubuk, Impalak segera menyampaikan berita gembira itu kepada Ayahnya.
“Ayah, saya sudah menghadap kepada pemilik perahu bagga. Dia bersedia mengajak saya berlayar bersamanya,” lapor Impalak kepada ayahnya dengn perasaan gembira.
“Ya, syukurlah kalau begitu, Nak! Nanti malam siapkanlah segala keperluan yg akan kamu bawa!” seru ayahnya sambil tersenyum pilu.

Keesokan paginya, Impalak sudah siap tuk berangkat. Dia diantar oleh ayahnya ke pelabuhan. Sesampai di pelabuhan, perahu bagga yg akan ditumpangi gak lama lagi akan berangkat. Tampak si pemilik perahu berdiri di atas anjungan berteriak memanggil Impalak.
“Impalak…! Ayo cepat…! Perahunya sebentar lagi berangkat…”
“Baik, Tuan!” jawab Impalak seraya berpamitan kepada ayahnya.
“Ayah! Saya harus berangkat sekarang, jaga diri Ayah baik-baik!”
“Iya, Nak! Jangan lupakan Ayah, Nak!”
“Baik, Ayah! Saya akan selalu ingat pesan Ayah,” kata Impalak sambil mencium tangan ayahnya. Suasana haru pun menyelimuti hati ayah dan anak itu. Tidak terasa, Impalak meneteskan air mata. Demikian pula sang Ayah, air matanya berlinang tidak kuat menahan rasa haru.

“Impalak…! Ayo kita berangkat!” terdengar lagi teriakan pemilik perahu memanggil Impalak.
“Ayah, saya berangkat dulu,” jawab Impalak kemudian bergegas menuju ke perahu bagga.
“Kalau sudah berhasil cepat pulang ya, Nak!” teriak sang Ayah sambil melaygkan pandangannya ke arah Impalak yg sedang berlari menuju ke perahu bagga.

Tidak berapa lama, Impalak sudah tampak berdiri di anjungan bersama pemilik perahu sambil melambaikan tangan. Sang Ayah pun membalas lambaian tangan anaknya sambil meneteskan air mata. Beberapa saat kemudian, berangkatlah perahu bagga itu. Setelah perahu bagga menghilang dari pandangannya, Intobu pun bergegas pulang ke gubuknya.

Sejak kepergian anaknya, Intobu menjalani hari-harinya seorang diri sebagai nelayan. Gak terasa, sudah beberapa tahun Impalak merantau di negeri orang. Namun, dia gak pernah memberi kabar kepada ayahnya. Hal itulah yg membuat ayahnya selalu gelisah menanti kedatangannya. Setiap ada perahu bagga yg berlabuh di pelabuhan, sang Ayah slalu berharap anak kesaygannya datang membawa rezeki, namun harapan itu gak pernah terwujud.

Pada suatu hari, ayah Impalak mencari ikan di sekitar pelabuhan dengn menggunakan sampan. Tiba-tiba dari kejauhan, dia melihat sebuah perahu bagga hendak berlabuh di pelabuhan.

“Kenapa jantungku berdebar-debar begini? Jangan-jangan anakku ada di perahu bagga itu? Ah, tidak mungkin. Impalak benar-benar sudah melupakan aku,” ucap ayah Impalak berusaha menepis pikiran-pikiran itu. Semakin lama perahu bagga itu semakin dekat dan semakin tampak jelas. Jantung ayah Impalak pun berdetak semakin kencang. Ketika perahu bagga itu melintas tidak jauh dari tempatnya memancing ikan, tiba-tiba dia melihat soeorang pemuda gagah bersama seorang wanita cantik berdiri di haluan perahu bagga. Keduanya adalah Impalak dan istrinya. Ternyata, selama berada di rantauan Impalak berhasil menjadi orang kaya dan beristri wanita cantik. Oleh karena yakin bahwa pemuda itu adalah anaknya, tiba-tiba sang Ayah berteriak.
“Impalaaak….Anakku! Ini aku ayahmu!” Impalak tahu bahwa lelaki tua yg memanggilnya itu adalah ayahnya. Namun karena malu kepada istrinya, dia berpura-pura gak mendengar teriakan itu.
“Bang! Sepertinya orang itu memanggil nama Abang. Apakah dia itu ayah Abang?” tanya istrinya setelah mendengar teriakan lelaki tua itu.
“Bukan! Abang gak mempunyai ayah sejelek lelaki tua itu,” jawab Impalak dengn kesal sambil memalingkan wajahnya.
“Tapi, bukankah orang tua itu mengaku kalau Abang adalah anaknya?” tanya istri Impalak.
“Dia itu hanya mengada-ada,” jawab Impalak dengn ketus.
“Sudahlah, Dik! Gak usah hiraukan orang gila itu!” tambah Impalak. Mendengar ucapan itu, istri Impalak pun langsung diam. Dia gak ingin bertanya lagi tentang lelaki tua itu. Dia berpikir, barangkali suaminya benar bahwa lelaki tua itu adalah orang gila yg mengaku sebagai ayah dari suaminya.

Sementara ayah Impalak dengn sekuat tenaga terus mendayung sampannya mengejar perahu bagga yg ditumpangi Impalak. Ketika akan sampai di pelabuhan, tiba-tiba angin bertiup kencang. Sampan yg ditumpangi ayah Impalak terombang-ambing oleh gelombang besar. Ayah Impalak gak sanggup lagi mengendalikan sampannya.
“Toloonng… ! Tolooong… aku Impalak!” teriak ayah Impalak meminta tolong. Namun, malang nasibnya bagi lelaki tua itu. Impalak yg berada di atas perahu bagga itu justru tertawa terbahak-bahak melihatnya diombang-ambing gelombang laut.
“Ha..ha..ha…!!! Rasakanlah itu orang gila!” Walaupun ayah Impalak berkali-kali berteriak meminta tolong, Impalak tetap gak memperdulikannya. Perahu yg ditumpangi Impalak justru semakin menjauhinya. Hati lelaki tua itu hancur karena diabaikan oleh anak kandungnya sendiri. Dia sudah gak tahan lagi melihat perilaku anaknya yg sudah gak menaruh belas kasihan lagi kepadanya. Dengn mengangkat kedua tangannya, lelaki tua itu berdoa kepada Tuhan.

“Ya Tuhan! Hukumlah anak Hamba yg durhaka itu! Kutuklah perahu bagga yg ditumpanginya itu menjadi batu!”

Beberapa saat kemudian, angin bertiup dengn kencang, ombak laut bergulung-gulung menghantam perahu Impalak sehingga terdampar di pantai. Seketika itu pula, perahu bagga dan Impalak menjelma menjadi batu. Oleh masyarakat setempat batu itu kemudian diberi nama Batu Bagga.
----------------------------------------------------------------------------------------
Gimana bagus gak cerita dalam cerpen di atas? Kalo adik-adik tertarik dengan cerpen bobo lainnya, silahkan baca aja di sini. Atau bisa juga baca di web bobo, ini dia web resminya: Bobo. Sampai berjumpa lagi di cerpen berikutnya, bey...

Untuk lebih lengkap tentang apa yang sedang Anda cari, Silahkan lihat dalam "Daftar Isi" di tombol menu atas!

Related Post