Cerpen Bobo Ke-32 Ini Ceritanya Berjudul "Putri Pinang Gading", Semoga Adik-Adik Bisa Mengambil Hikmahnya Ya
Cerpen ini bukan kakak yang membuatnya, kakak hanya mengumpulkan cerpen-cerpen yang paling bagus menurut kakak dari berbagai sumber. Tapi sumber yang paling banyak kakak pilih adalah dari web resmi Bobo-nya langsung. Selamat membaca...
CERPEN BOBO, Putri Pinang Gading, Cerita Rakyat Bangka Belitung
----------------------------------------------------------------------------------------
Alkisah, di sebuah Kubok, kumpulan beberapa buah rumah, yg bernama Kelekak Nangak yg terdapat di Kecamatan Membalong, hiduplah sepasang suami-istri yg miskin dan tak mempunyai anak. Sang Suami bernama Pak Inda, sedangkan sang Istri bernama Bu Tumina. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yg beratap nangak, sejenis daun palem berduri, dan berlantai kayu gelegar berlapik tuntong ato kulit kayu terunjam. Tuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka menanam padi di ladang dan menangkap ikan dengn cara memasang sero, salah satu alat penangkap ikan tradisional masyarakat Belitung yg menyerupai bilik-bilik yg diberi pintu yg sempit, di tepi laut. Ketika air surut, ikan-ikan akan terperangkap dalm sero itu.Pada suatu hari, musim panen padi bertepatan dengn waktu air laut surut. Pak Inda betare (berpamitan) kepada istrinya tuk melihat sero yg dipasang di tepi laut.
“Dik! Hari ini Abang akan pergi memeriksa sero di tepi laut. Bagaimana kalau Adik sendiri aja yg berangkat ke ladang memanen padi?” tanya sang Suami.
“Baik, Bang! Kebetulan juga hari ini kita tak mempunyai lauk tuk makan siang,” jawab sang Istri.
Dengn membawa ambong, sejenis kerajang ato karung tuk menggendong barang-barang, berangkatlah Pak Inda ke laut. Ketika akan mendekati seronya, tiba-tiba dia tersandung sepotong bambu. DIa pun mengambil bambu itu dan melemparkannya ke laut, agar hanyut terbawa oleh air laut yg sedang surut. Namun, ketika akan menangkap ikan di seronya, ia tersandung lagi dengn sepotong bambu.
“Kenapa banyak sekali bambu yg hanyut di tempat ini?” gumam Pak Inda sambil mengamati bambu itu.
“Aneh! Sepertinya bambu ini yg sudah aku lemparkan tadi,” gumam Pak Inda heran.
Oleh karena sudah tak sabar ingin melihat seronya, Pak Inda segera membuang kembali bambu itu agak jauh ke tengah laut agar tak menghalanginya lagi. Setelah itu, ia pun menangkap ikan di dalam seronya. Pak Inda sangat gembira, karena mendapatkan banyak ikan. Sebagian ikan tersebut ia masukkan ke dalam ambongnya, dan sebagian pula diikat dengn tali rotan, karena ambongnya tak dapat menampung semua ikan tersebut. Setelah itu, ia pun bergegas pulang ke rumahnya.
Namun, pada saat akan meninggalkan pantai, tiba-tiba ia kembali tersandung pada sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu lalu mengamatinya secara seksama.
“Wah, tak salah lagi, ini bambu yg aku buang ke laut tadi. Tapi, kenapa bambu ini bisa sampai ke sini, padahal air laut sedang surut?” tanya Pak Inda dalam hati.
“Benar-benar aneh! Bambu ini dapat melawan arus air laut. Ini bukanlah bambu sembarangan,” tambahnya sambil mengamati bambu itu.
Setelah beberapa saat berpikir, Pak Inda mengambil bambu itu dan menggunakannya sebagai pemikul ikan. Sesampainya di rumah, Pak Inda menceritakan peristiwa yg dialami kepada istrinya. Oleh istrinya, bambu itu digunakan sebagai penindih jemuran padi agar tak diterbangkan angin.
Pada suatu hari, saat sedang duduk bersantai di rumah, Pak Inda dan istrinya dikejutkan oleh suara letusan yg sangat keras. Keduanya pun segera menuju ke sumber suara letusan itu. Rupanya, sumber letusan itu berasal dari sepotong bambu yg digunakan oleh sang Istri menindih jemuran padi yg berada di depan rumah mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat seorang bayi perempuan disertai dengn pancaran cahaya yg menyilaukan keluar dari bambu itu.
“Bang, lihat itu! Ada seorang bayi perempuan yg tergeletak di tanah,” seru sang Istri.
“Bayi itu menangis! Cepat tolong dia, Dik!” seru Pak Inda kepada istrinya.
Tanpa berpikir panjang, Bu Tumina segera mengambil dan memandikan bayi itu. Setelah bersih, dia menggendong bayi itu sambil bernyanyi:
Anakku sayg, anak kandungku.
Anak kandung sibiran tulang,
Obah jerih… pelerai demam.
Bu Tumina terus bernyanyi hingga si bayi tak menangis lagi dan tertidur. Kedua suami-istri itu sangat senang, karena tlah mendapatkan seorang anak yg sudah lama mereka dambakan. Mereka pun merawat dan membesarkan bayi itu dengn penuh kasih sayg seperti anak kandung mereka sendiri. Mereka memberinya nama Putri Pinang Gading.
Waktu berjalan begitu cepat, Putri Pinang Gading sudah berumur lima belas tahun tahun. Setiap hari ia pergi berburu binatang di hutan yg ada di sekitar rumahnya. Banyak sudah binatang buruan yg pernah dipanahnya, karena memang sejak kecil ia sangat suka bermain panahan dan sering dilatih oleh ayahnya cara memanah yg baik. Semenjak kehadiran Putri Pinang Gading, rezeki Pak Inda selalu bertambah, sehingga kehidupan mereka pun semakin sejahtera.
Pada suatu hari, terdengar kabar bahwa di Kampung Kelekak Remban terjadi bencana yg ditimbulkan oleh serangan burung yg besar. Oleh masyarakat Kelekak Remban, burung itu disebut Burung Gerude yg tinggal di sebelah timur daerah Ranau. Burung Gerude itu sangat ganas dan buas. Ia mengobrak-abrik permukiman penduduk Kelekak Remban, dan bahkan telah menelan seorang warga. Seluruh penduduk Kelekak Remban jadi panik. Tuk berlindung dari serangan Burung Gerude, para warga membuat remban, kayu yg disusun dan dijalin rapi dengn rotan. Tak seorang pun warga yg berani keluar rumah.
Peristiwa yg mengerikan itu terdengar oleh Putri Pinang Gading yg kini sudah berusia 21 tahun. Ia bertekad hendak pergi ke Kampung Kelekak Remban tuk menolong warga yg sedang dilanda ketakutan.
“Ayah, Ibu! Izinkanlah Putri pergi tuk mengusir binatang buas itu!” pinta Putri Pinang Gading.
“Apakah kamu sanggup mengalahkan burung besar itu, Nak?” tanya Pak Inda khawatir terhadap putrinya.
“Ayah tak perlu khawatir. Putri akan membinasakan burung itu dengn panahku yg beracun ini,” jawab Putri Pinang Gading dengn penuh keyakinan.
“Baiklah, kalau begitu! Tapi, kamu harus lebih berhati-hati, Nak! Kami takut kehilanganmu,” ujar Pak Inda.
“Benar, Nak! Kamu adalah putri kami satu-satunya,” sahut Bu Tumina.
“Baik, Ayah, Ibu! Putri akan jaga diri,” kata Putri Pinang Gading seraya berpamitan kepada ayah dan ibunya.
Setelah menyiapkan beberapa anak panah yg sudah dibubuhi racun, Putri Pinang Gading berangkat menuju Kampung Kelekak Remban. Sesampainya di sana, kampung itu tampak sepi. Semua warga sedang bersembunyi di dlam rumah mereka. Putri Pinang Gading juga tak melihat Burung Gerude itu.
“Ke mana Burung Gerude itu? Aku sudah tak sabar lagi ingin membinasakannya,” gumam Putri Pinang Gading yg sudah siap dengn anak panah di tangannya.
Baru saja selesai bergumam, tiba-tiba ia mendengar suara burung yg sangat keras. Suara itu tak lain adalah suara Burung Gerude. Burung itu terbang ke sana ke mari di atas rumah-rumah penduduk sedang mencari mangsa. Sesekali ia mengobrak-abrik rumah penduduk. Namun, burung itu tak menyadari jika Putri Pinang Gading sedang memperhatikan gelagaknya dari balik sebuah pohon besar.
Putri Pinang Gading yg sudah siap dengn anak panah di tangannya tinggal menunggu saat yg tepat tuk meluncurkan anak panahnya. Pada saat Burung Gerude itu lengah, dengn cepat dia melepaskan anak panahnya. Anak panah itu meluncur ke arah Burung Gerude itu dan tepat mengenai dadanya. Burung Gerude itu pun jatuh ke bumi dan tewas seketika.
Para warga yg menyaksikan peristiwa itu melalui cela-cela rumah, keluar dari rumah mereka dan segera mengerumuni Burung Gerude yg sudah mati itu. Mereka sangat kagum melihat keberanian Putri Pinang Gading. Akhirnya, kampung itu terbebas dari ancaman bahaya serangan Burung Gerude. Tuk merayakan keberhasilan itu, para warga mengadakan pesta besar-besaran dengn mengundang Putri Pinang Gading.
Konon, tempat jatuhnya Burung Geruda itu berubah menjadi tujuh buah anak sungai. Sementera anak panah Putri Pinang Gading yg mengenai dada Burung Gerude itu tumbuh menjadi serumpun bambu. Suatu hari, ada seorang nelayan memotong bambu itu tuk dijadikan joran pancing. Pada saat memotong sebatang pohon bambu itu, tiba-tiba tangan nelayan itu tersayat dan langsung meninggal karena bambu itu masih beracun. Oleh masyarakat setempat, bambu itu disebut dengn bulo berantu (bambu beracun). Kemudian kampung itu mereka beri nama Belantu, dari kata buloantu. Namun, dalam perkembangannya, nama Belantu berubah menjadi Membalong yg kini menjadi nama kecamatan di Pulau Belitung.
----------------------------------------------------------------------------------------
Gimana bagus gak cerita dalam cerpen di atas? Kalo adik-adik tertarik dengan cerpen bobo lainnya, silahkan baca aja di sini. Atau bisa juga baca di web bobo, ini dia web resminya: Bobo. Sampai berjumpa lagi di cerpen berikutnya, bey...
Untuk lebih lengkap tentang apa yang sedang Anda cari, Silahkan lihat dalam "Daftar Isi" di tombol menu atas!