CERPEN BOBO Ke-30, Semangka Emas (Sambas)

Cerpen Bobo Ke-30 Ini Ceritanya Berjudul "Semangka Emas (Sambas)", Semoga Adik-Adik Bisa Mengambil Hikmahnya Ya


Cerpen ini bukan kakak yang membuatnya, kakak hanya mengumpulkan cerpen-cerpen yang paling bagus menurut kakak dari berbagai sumber. Tapi sumber yang paling banyak kakak pilih adalah dari web resmi Bobo-nya langsung. Selamat membaca...

CERPEN BOBO, Semangka Emas (Sambas), Cerita Rakyat Kalimantan Barat

----------------------------------------------------------------------------------------
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Sambas, Kalimantan Barat, hiduplah seorang saudagar yg kaya-raya. Saudagar tersebut mempunyai dua orang anak laki-laki. Anaknya yg sulung bernama Muzakir, dan yg bungsu bernama Dermawan. Namun, keduanya memiliki sifat dan tingkah laku yg sangat berbeda. Muzakir sangat loba dan kikir. Setiap hari kerjanya hanya mengumpulkan uang. dia gak pernah memberikan sedekah kepada fakir miskin. Sebaliknya, Derwaman sangat peduli dan selalu bersedekah kepada fakir miskin. dia gak rakus dengn harta dan uang.

Sebelum meninggal dunia, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada kedua anaknya. dia bermaksud agar anak-anaknya gak berbantahan dan saling iri, terutama bila dia telah meninggal kelak. Setelah harta tersebut dibagi, Muzakir dan Dermawan tinggal terpisah di rumahnya masing-masing. Muzakir tinggal di rumahnya yg mewah, demikian pula Dermawan.

Uang bagian Muzakir dimasukkan ke dalam peti, lalu dia kunci. Bila ada orang miskin datang ke rumahnya, dia bukannya memberinya sedekah, melainkan tertawa mengejeknya. Bahkan dia gak segan-segan mengusirnya jika orang miskin itu gak mau pergi dari rumahnya. Suatu hari, seorang perempuan tua dengn pakaian compang-camping berjalan terseok-seok datang menuju rumah Muzakir. Di depan rumah Muzakir, nenek tua itu memohon belas kasihan, “Tuan, kasihanilah nenek. Berilah nenek sedekah!” Mendengar suara nenek itu, Muzakir keluar dari dalam rumahnya dan menertawakan perempuan tua itu, “Ha ha ha…. Hai nenek jelek, pergi kau dari sini! Aku muak melihat wajahmu yg keriput itu!” Meskipun dibentak, nenek tua itu gak mau beranjak. Dia pun terus mengiba kepada Muzakir, “Tapi tuan, nenek sudah dua hari gak makan, kasihanilah nenek.” Melihat nenek itu gak mau pergi, Muzakir menyuruh orang gajiannya tuk mengusirnya. Akhirnya, perempuan tua yg malang itu pun pergi tanpa mendapat apa-apa, kecuali penghinaan.

Orang-orang miskin yg sudah mengetahui sifat Muzakir yg kikir itu, termasuk si nenek tua tadi, gak mau lagi ke rumah Muzakir. Mereka kemudian berduyun-duyun ke rumah Dermawan. Berbeda dengn sifat Muzakir, Dermawan slalu menyambut orang-orang miskin tersebut dengn senang hati dan ramah. Mereka dijamunya makan dan diberinya uang karena dia merasa iba melihat mereka hidup miskin dan melarat. Hampir setiap hari orang-orang miskin datang ke rumahnya. Lama-kelamaan harta dan uang Dermawan habis, sehingga dia gak sanggup lagi menutupi biaya pemeliharaan rumahnya yg besar. Akhirnya, dia pindah ke rumah yg lebih kecil, dan mencari pekerjaan tuk membiayai hidupnya. Gajinya gak seberapa, sekedar cukup makan saja. Meskipun demikian, dia tetap bersyukur dengn keadaan hidupnya.

Muzakir tertawa terbahak-bahak mendengar berita Dermawan yg dianggapnya bodoh itu. “Itulah akibatnya selalu melayani orang-orang miskin. Pasti kamu juga ikut miskin, dasar memang tolol si Dermawan itu,” gumam si Muzakir. Bahkan, Muzakir merasa bangga sekali karena bisa membeli rumah yg lebih bagus dan kebun kelapa yg luas. Tetapi Dermawan gak menghiraukan tingkah laku abangnya itu.

Suatu hari Dermawan duduk-duduk melepaskan lelah di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba jatuhlah seekor burung pipit di hadapannya. Burung itu mencicit-cicit kesakitan, “Kasihan,” kata Dermawan. “Sayapmu patah, ya?” lanjut Dermawan berbicara dengn burung pipit itu. Ditangkapnya burung tersebut, lalu diperiksanya sayapnya. Benar saja, sayap burung itu patah. “Biar kucoba mengobatimu,” katanya. Setelah diobatinya lalu sayap burung itu dibalutnya perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu diberinya makan. Burung itu pun menjadi jinak dan gak takut kepadanya. Beberapa hari kemudian, burung itu tlah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan akhirnya dia pun terbang.

Keesokan harinya burung pipit itu kembali mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji, lalu diletakkannya di depan Dermawan. Dermawan tersenyum melihatnya. Biji itu biji biasa saja. Meskipun hanya biji biasa, senang juga hatinya menerima pemberian burung itu. Biji itu ditanamnya di belakang rumahnya.

Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu. Ternyata, yg tumbuh adalah pohon semangka. Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik sehingga tumbuh dengn subur. Pada mulanya Dermawan menygka akan banyak buahnya, karena banyak sekali bunganya. “Kalau bunganya ini semuanya menjadi buah, saya pasti kenyg makan semangka dan sebagiannya bisa saya sedekahkan kepada fakir miskin,” kata Dermawan dalam hati berharap. Tetapi aneh, setelah beberapa minggu semangka itu dia pelihara dengn baik, namun di antara bunganya yg banyak itu hanya satu yg menjadi buah. Meskipun hanya satu, semangka itu semakin hari semakin besar, jauh lebih besar dari semangka umumnya. Dermawan tergiur melihat semangka besar itu. “Kelihatannya sedap sekali semangka ini. Mmm….harum sekali baunya,” ucap Dermawan setelah mencium semangka itu.

Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya semangka itu dipanen. Dermawan memetik buah semangka itu. “Wah…, bukan main beratnya semangka ini,” gumam Dermawan sambil terengah-engah mengangkat semangka itu. Kemudian dia membawa semangka itu masuk ke dalam rumahnya, dan diletakkannya di atas meja. Lalu dibelahnya dengn pisau. Setelah semangka terbelah, betapa terkejutnya Dermawan. “Wow, benda apa pula ini?” tanya Dermawan penasaran. dia melihat semangka itu berisi pasir kuning yg bertumpuk di atas meja. Disangkanya hanya pasir biasa. Setelah diperhatikannya dengn sungguh-sungguh, ternyata pasir itu adalah emas urai murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. dia gak sadar kalau dari luar rumahnya ada seekor burung memperhatikan tingkahnya. Setelah burung itu mencicit, baru dia tersadar. Ternyata, burung itu adalah burung pipit yg pernah ditolongnya. “Terima kasih! Terima kasih!” seru Dermawan dengn senangnya. Burung itu pun kemudian terbang tanpa kembali lagi.

Keesokan harinya, Dermawan membeli rumah yg bagus dengn pekarangan yg luas sekali. Semua orang miskin yg datang ke rumahnya diberinya makan. Meskipun setiap hari dan setiap saat orang-orang miskin tersebut datang ke rumahnya, Dermawan gak akan jatuh miskin seperti dahulu. Uangnya amat banyak dan hasil kebunnya melimpah-ruah. Tersiarlah kabar di seluruh kampung bahwa Dermawan sudah gak miskin lagi.

Suatu hari, berita keberhasilan Dermawan terdengar oleh abangnya, Muzakir. Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. dia pun ingin mengetahui rahasia keberhasilan adiknya, lalu dia pergi ke rumah Dermawan. Di sana Dermawan menceritakan secara jujur kepada Muzakir tentang kisahnya.

Mengetahui hal tersebut, Muzakir langsung memerintahkan orang-orang gajiannya mencari burung yg patah kakinya ato patah sayapnya di mana-mana. Namun sampai satu minggu lamanya, tak seekor burung pun yg mereka temukan dengn ciri-ciri demikian. Muzakir sungguh marah dan gak dapat tidur. dia gelisah memikirkan bagaimana caranya mendapatkan burung yg patah sayapnya. Keesokan paginya, Muzakir mendapat akal. Diperintahkannya seorang gajiannya tuk menangkap burung dengn apitan (sumpit). Tentu saja sayap burung itu menjadi patah. Muzakir kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut luka pada sayap burung itu. Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan dilepaskan terbang. Tak lama, burung itu kembali kepada Muzakir tuk memberikan sebutir biji. Muzakir sungguh gembira. Dalam hatinya, dia selalu berharap agar cepat menjadi kaya, “Ah, sebentar lagi saya akan menjadi kaya-raya dan melebihi kekayaan si Dermawan,” kata Muzakir dalam hati tak mau kalah.

Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yg terbaik di kebunnya. Tiga hari kemudian, tumbuh pula pohon semangka yg subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu, ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Beberapa bulan kemudian, tibalah waktunya semangka itu dipanen. Dua orang gajian Muzakir dengn susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya. Muzakir sudah gak sabar lagi ingin melihat emas urai murni berhamburan dari dalam semangka itu. dia pun segera mengambil parang. dia sendiri yg akan membelah semangka itu. Baru saja semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta permadani di ruangan itu gak luput dari siraman lumpur dan kotoran yg seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil muntah-muntah, karena gak tahan dengn bau lumpur itu. Orang yg melihatnya dan mencium bau yg busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan dengn riuhnya. Dermawan menjadi sangat malu ditertawakan oleh orang-orang di sekitarnya.
----------------------------------------------------------------------------------------
Gimana bagus gak cerita dalam cerpen di atas? Kalo adik-adik tertarik dengan cerpen bobo lainnya, silahkan baca aja di sini. Atau bisa juga baca di web bobo, ini dia web resminya: Bobo. Sampai berjumpa lagi di cerpen berikutnya, bey...

Untuk lebih lengkap tentang apa yang sedang Anda cari, Silahkan lihat dalam "Daftar Isi" di tombol menu atas!

Related Post