Cerita Lucu Dari Sesosok Ulama Besar Abu Nawas Yang Kelima Ini Berjudul "Menteri Yang Zalim", Ambil Hikmahnya Yoo
Cerita lucu Abu Nawas di sini kami dapatkan dari berbagai sumber, jadi maaf yaa kalo cerita lucu seperti di bawah ini sudah pernah kalian baca. Cerita lucu ini sarat sekali dengan kandungan hikmah dalam ceritanya, jadi sambil menghibur hati, petik juga hikmah yang terkandung dalam cerita lucu dari Abu Nawas ini.
Selamat membaca...
--------------------------------------------------------------------------------------
Cerita Lucu, Abu Nawas Dan Menteri Yang Zalim
Di Negeri Baghdad dahulu kala ada seorang menteri yg dikenal sangat jahat perangainya, sehingga ditakuti warganya. Dia tak bisa melihat perempuan cantik, terutama istri orang, pasti diambilnya.
Apabila membeli suatu barang, dia tak pernah mau membayar. Ihwal itu lama-kelamaan sampai juga ke telinga Abu Nawas sehingga membuat hatinya panas.
Maka Abu Nawas pun pasang niat tak akan meninggalkan daerah itu sebelum sang menteri menghembuskan nafas terakhir alias mati. Kemudian Abu Nawas berangkat ke tempat menteri itu tinggal dan sengaja menyewa rumah yg berdekatan tuk melakukan investigasi.
Setlah beberapa hari bergaul dengn penduduk di situ, dia pun kenal dengn sang menteri dan bahkan bersahabat baik. Begitu baiknya pendekatan yg dilakukan sampai-sampai menteri itu tak dapat mencium rencana busuk Abu Nawas.
Abu Nawas boleh masuk dan keluar rumah itu dengn bebas, sehingga dia tak menaruh curiga sama sekali kepadanya. Di dalam rumah itu Abu Nawas melihat sebuah tiang gantungan yg digunakan tuk menggantung orang-orang yg bersalah kepada menteri itu.
Cara menggantungnya pun dengn cara yg sadis, yaitu kaki di atas dan kepala di bawah. Dlam posisi demikian, orang itu dipukuli sampai mati.
“Dengn demikian memang betul berita-berta yg aku dengar tentang menteri ini,” pikir Abu Nawas. “Nantikanlah, aku pasti akan membalas.”
“Hai orang muda,” kata Abu Nawas, kepada seorang pemuda tampan yg sedang menggiring seekor lembu gemuk. “Apakah lembu itu akan dijual?” Pertemuan itu terjadi ketika Abu Nawas berjalan-jalan di sebuah sudut desa itu.
“Lembu ini tak dijual,” jawab si pemuda, “Karena ini warisan bapak hamba.”
“Lebih baik lembu itu dijual aja,” Abu Nawas mencoba merayu. “Kalau laku dengn harga tinggi, kamu bisa berdagang sehingga uang itu menjadi banyak.”
“Betul juga kata Tuan,” jawab si pemuda setlah berpikir sejenak. “Namun tuk menjualnya hamba harus berkonsultasi dengn ibu di rumah, kalau ibu setuju boleh tuan membelinya.”
“Itu akan lebih baik,” Ujar Abu Nawas. Sementara anak muda itu pulang, Abu Nawas memeras otak, dia akan berusaha memanfaatkan ketampanan wajah anak muda itu tuk melaksanakan rencananya.
“Hai menteriku, tunggulah bagianmu kelak,” kata Abu Nawas dalam hati dengn perasaan geram.
“Ibu setuju menjual lembu ini,” kata pemuda itu kepada Abu Nawas, setlah keduanya bertemu lagi.
“Bagus,” kata Abu Nawas, “Tetapi sebenarnya bukan aku yg akan membeli lembumu, melainkan menteri yg zalim itu. Oleh karena itu berikan harga yg pasti, sesudah itu kita membuat perjanjian dan kamu yg akan melaksanakannnya. “Setuju?” Tanya Abu Nawas. “Setuju!” jawab si pemuda.
“Giringlah lembumu itu ke kebun, dan tunggulah aku di sana,” kata Abu Nawas. “Aku akan ke rumah menteri itu dan setlah itu aku menemuimu.”
“Hai menteri, ada seorang pemuda yg akan menjual seekor lembu gemuk,” kata Abu Nawas. “Jika Anda tertarik, silahkan anda beli dengn harga yg pantas, tak mahal, mari kita ke kebun itu.”
“Berapa harganya?” tanya si menteri begitu sampai di kebun. Dia sangat tertarik dan ingin segera membelinya.
“Lima puluh dinar,” jawab si pemuda. “Boleh ditawar?” tanya si menteri. “Tak bisa, karena lembu ini warisan bapak hamba,” jawab si pemuda.
“Baik, pasti kubayar harga itu,” ujar si menteri. Maka disodorkan ujung tali pengikat lembu kepada menteri, namun ketika ditarik ternyata kosong. Rupanya diam-diam Abu Nawas tlah melepas binatang itu, namun karena harga tlah disepakati, pemuda itu meminta bayarannya.
“Mana lembunya?” tanya si menteri. “Masa hanya talinya? Aku tak sudi membayar.”
Keduanya pun berbantah-bantahan dengn sengitnya. “Aku minta bayarannya,” kata si pemuda. “Kalau tak mau bayar, kembalikan lembuku.”
“Apa yg mesti kubayar, dan apa yg harus kukembalikan,” kilah si menteri.
“Cuma tali yg kau berikan kepadaku … Nih, ambillah, aku tak butuh tali.”
“Kerjamu memang cuma menipu dan menganiaya orang!” kata si pemuda lagi. “Kamu memang zalim, mau makan darah orang kecil.”
Si menteri tak menggubris lagi perkataan itu, dia berjalan pulang ke rumahnya. Sementar si anak muda hatinya sangat sedih, lembu hilang, uang melayg. “Barangkali memang itulah nasibku. Apa boleh buat,” keluhnya.
“Sudahkah kamu menerima pembayaran harga lembumu?” tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya.
“Hamba diperdaya menteri itu,” jawab si pemuda dengn wajah nelangsa. “Lembu hilang, uang melayg.”
“Coba ceritakan kata Abu Nawas. “Aku kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepat-cepat pergi karena ada urusan lain.”
Maka diceritakanlah kejadian itu dengn nada mendongkol. “Sialan menteri itu,” ujar si pemuda.
“Oh begitu, kata Abu Nawas. “Jangan sedih, Insya Allah aku akan membantu.” Kemudian Abu Nawas minta si pemuda bersedia melaksanakan rencana yg tlah disusunnya tuk membunuh si menteri zalim itu.
Keesokan harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di depan rumah si menteri zalim, dia tampak membuang sesuatu yg dicabut dari kakinya.
“Hai Adinda, dari mana gerangan asalmu?” tiba-tiba muncul suara dari sudut yg gelap. Suara itu ternyata milik menteri yg saat itu juga sedang berjalan-jalan di depan rumahnya. Hatinya amat girang begitu melihat wajah cantik yg tiba-tiba muncul di depan matanya.
“Hamba orang desa, tadi ketika berjalan bersama suami, kaki hamba tertusuk duri. Hamba terpaksa berhenti tuk menarik duri dari kaki, suami hamba tak mau menunggu dan hamba ditinggal di sini.
Hamba tak tahu jalan pulang ke rumah,” kata si perempuan itu dengn penuh iba, lalu dia pun menangis.
“Jika Adinda mau, silahkan mampir ke rumah hamba sambil menunggu suami Adinda. Barangkali dia sekarang sedang mencari Adinda,” kata si menteri. “Jangan takut.” “Hamba takut kepada istri dan pelayan-pelayan tuan,” kata perempuan muda itu.
“Kalau begitu, silahkan Adinda duduk di sini, Kanda akan menyuruh istri pergi ke rumah ibunya bersama pelayan-pelayan itu,” kata si menteri. Maka sang menteri pun tergopoh-gopoh masuk ke rumahnya.
“Hai Adinda, katanya, “Sekarang ini sebaiknya Adinda pergi ke rumah ibu karena sudah lama rasanya Adinda tak ke sana.” “Jika demikian kehendak Kakanda, baiklah hamba ke sana,” jawab istri si menteri.
“Hai Adinda, kata si menteri kepada perempuan muda itu setlah rumah kosong. “Silahkan masuk ke rumah hamba, karena istri dan semua pelayan tlah pergi.”
“Baiklah, katanya sambil mengikuti langkah si menteri. Di dlam rumah dilihatnya tali gantungan seperti yg diceritakan Abu Nawas. Menteri itu mendorong si perempuan muda ke kamar dan mengajak tidur, namun dia mencoba menolak sambil merajuk.
“Sebelum kita tidur, cobalah Kakanda bergantung sebentar pada tali itu,” rayunya. “Seumur hidup hamba belum pernah melihat orang bergantung ditali.”
Karena terdorong oleh nafsu syahwat yg menggelora, permintaan itu dituruti si menteri. “Tolong Adinda pegang tali gantungan ini kuat-kuat, jangan dilepaskan,” katanya.
Menteri itu kemudian memasukkan badannya ke dalam tali gantungan, setlah itu si perempuan gadungan melepaskan tali yg dipegangnya sehingga badan si menteri menggantung dengn posisi kaki di atas dan kepala di bawah.
Si perempuan pun mengeluarkan sebuah pentungan lalu memukul badan dan kepala si menteri zalim itu sambil berujar. “Hai menteri zalim, aku bukan perempuan, akulah pemilik lembu yg kau tipu, sekarang terimalah pembalasanku.
Aku minta harga lembuku, ayo bayar… bayar” Bak – Bik – Buk… darah segar mengalir dari mulut, hidung dan telinga menteri itu, sehingga dia tak sadarkan diri. “Mampuslah kau,” teriak si pemuda.
Mengira bahwa si menteri sudah mati, masuklah perempuan palsu itu ke dlam rumah, dan menjarah barang-barang yg ada, sesudah itu barulah dia pulang dengn menggondol harta kekayaan si menteri zalim.
Di tempat lain si istri menteri mendapat firasat buruk, hatinya berebar-debar keras. “Ada apa gerangan di rumahku?” pikirnya dalam hati, maka dengn bergegas pulanglah dia ke rumah.
Setiba di rumah dia menjerit-jerit histeris lantaran dilihatnya suaminya tergantung pingsan dengn kepala berdarah dan harta bendanya ludes. Ketika tali gantungan dilepas, ternyata suaminya masih bernafas, meski terengah-engah. Kemudian dipercikkan air mawar ke sekujur tubuhnya dan kepala
menteri hingga siuman dan membuka matanya.
“Ya Kakanda……” ucap si istri sambil menangis meratapi nasib suaminya. “Kenapa Kanda bisa begini?”
Si menteri tak bisa segera menjawab pertanyaan itu, tapi lambat laun setlah kesadarannya mulai pulih dia pun bisa menceritakan semua yg dialaminya. Setlah itu dia jatuh sakit.
Abu Nawas khawatir demi mendengar kabar itu, buru-buru ditemui si anak muda itu di rumahnya.
“Mengapa tak kamu matikan dia?” tanya Abu Nawas. “Bukankah aku sudah pesan, jangan kamu tinggal sebelum dia mati. Sekarang sebaiknya kamu tambah penyakit menteri itu supaya mati.
“Bagaimana caranya?” tanya si pemuda, dia tak kalah khawatir dengn Abu Nawas. “Berpura-puralah menjadi dukun, karena saat ini menteri itu sedang mencari dukun, kata Abu Nawas.
“Selanjutnya usahakan dengn caramu sendiri agar rumah itu kosong, dan setlah kosong pukulilah menteri itu sampai mati, sebelum mati, jangan kamu tinggalkan dia.”
Esok harinya datanglah seorang kakek tua bertongkat ke rumah menteri itu, dia memakai jubah panjang dan serban putih dengn langkah terbungkuk-bungkuk.
“Tuan, tanya seorang pelayan menteri itu, siapakah tuan ini?
“Aku ini dukun,” jawabnya, “Kenapa kamu menyapa aku di tengah jalan seperti ini, tak sopan berbuat seperti itu kepada orang tua.”
“Maaf,” kata si pelayan, “Hamba pelayan menteri, beliau saat ini sedang sakit dan perlu dukun, jika tuan suka, silahkan masuk ke rumahnya.”
“Ya tuan dukun, obatilah hamba ini,” kata si menteri itu setlah dukun palsu itu duduk di samping pembaringannya. “Hamba sakit…” lama-kelamaan suaranya hilang.
“Moga-moga hamba bisa mengobati tuan,” jawab si dukun. “Tapi bisakah pelayan-pelayan itu disuruh mencari daun kayu lengkap dengn akarnya. Daun itu memang sulit dicari tetapi banyak gunanya tuk penyembuhan tuan.”
Menteri itu kemudian menyuruh tiga orang pelayan tuk memenuhi permintaan dukun. Tak lama kemudian dukun itu berkata lagi, “Maaf, hamba lupa, adalagi daun kayu yg lain yg hamba butuhkan.
Tolong pelayan yg lain disuruh mencari.” Maka menteri itu pun menyuruh pelayan lainnya sehingga rumah itu kosong karena anak dan istri menteri itu sabelumnya sudah pergi ke luar rumah.
Setlah yakin bahwa rumah itu kosong, diambil sebuah pentungan dan dipukulnya sekujur badan menteri itu sampai babak belur dan mengeluarkan darah dari hidung, telinga dan mulutnya.
“Hai menteri, aku bukan dukun, tapi pemilik lembu yg kamu tipu. Mana bayaranmu!” katanya.
Menteri itu pingsan dan tak bernafas lagi. Dikiranya si menteri sudah mati, cepat-cepat dukun itu pergi, karena khawatir para pelayan itu segera kembali.
“Puas hatiku karena menteri itu sudah mati,” pikir si dukun palsu.
Kira-kira satu jam kemudian para pelayan itu kembali dengn tangan hampa diikuti oleh istri menteri. Mereka cemas melihat tuannya tergeletak dan dukun itu tak ada lagi.
Lalu istri menteri itu menyiram badan suaminya dengn air mawar yg diminumkan seteguk ke mulutnya. Tak lama kemudian menteri itu sadar namun belum bisa bicara.
“Ya istriku, orang itu bukan dukun, tetapi yg punya lembu itu juga,” kata si menteri setlah sadar. “Panggil orang-orang alim dan kabarkan kepada mereka bahwa aku sudah mati. Masukkan badanku ke dalam keranda bersama sekerat batang pisang yg dibungkus kain putih sebagaimana mayat laiknya.
Tetapi yg dimasukkan ke liang lahat nanti adalah batang pisang tadi, sedang badanku tetap dalam keranda dan dibawa pulang kembali. Dengn demikian orang yg punya lembu itu tak akan datang lagi kemari.
Kapan-kapan bila aku sembuh akan kucari orang itu tuk membuat perhitungan terakhir.”
Semua pesan itu dikerjakan oleh istri menteri itu dengn baik. Tetap dasar Abu Nawas, dia berhasil mencium akal busuk itu. Maka ditemuinya si pemilik lembu. “Kenapa tak kamu pukul sampai mati menteri itu?” bertanya Abu Nawas.
“Orang itu sudah mati,” kata si pemuda. “Dia tak bergerak dan tak bernafas lagi, karena darah keluar dari hidung dan telinganya.”
“Saat ini menteri itu masih hidup tapi pura-pura mati,” kata Abu Nawas. Lalu diceritakannya rencana menteri tadi dan rencananya sendiri agar menteri itu benar-benar mati, sebab jika dia masih hidup juga aku tak dapat menjamin nasibmu kelak,”
“Hai saudara, maukan Anda aku bayar tuk menaiki kuda yg cepat larinya?” kata Abu Nawas kepada seorang joki yg berbadan tinggi tegap, dekatilah kuburan menteri itu, jika jenazah sudah sampai ke liang kubur, berteriaklah keras-keras, “Akulah pemilik lembu”, kemudian paculah kudamu sekencang-kencangnya. “Setuju?” “Nah, ini uangnya, pergilah.”
Esok harinya iring-iringan jenazah menteri itu berangkat dari rumah lengkap dengn orang besar, orang alim, sanak keluarga, dan sahabat almarhum.
Begitu sampai dekat liang lahat, terdengar teriakan “Akulah pemilik lembu”.
Suasana di kuburan menjadi kacau, karena para pelayat kemudian berlarian ingin mengejar orang yg berteriak tadi.
Namun apa lacur, orang yg dikejar sudah kabur dengn kudanya, sementara keranda ditinggal tak terurus. Pada saat itulah si pemuda pemilik lembu yg sebenarnya muncul.
Rupanya dia ikut dalam barisan pelayat. “Hai menteri, akulah pemilik lembu yg kamu tipu, sekarang saatnya kamu harus membayar lunas utangmu. Tak akan kubiarkan nyawamu tetap bersarang di badanmu.” Lalu di pukulnya menteri itu sekuat tenaga hingga benar-benar mati.
Setlah itu dia pulang ke rumah. Akan halnya joki tadi, akhirnya dia terkejar dan tertangkap dan kemudian dibawa ke kuburan menteri.
Upacara pemakaman yg tadinya hanya pura-pura menjadi upacara sungguhan karena menteri yg diusung di dlam keranda itu benar-benar mati, badannya hancur dan tak bernafas lagi tanpa diketahui siapa pelakunya. Hal itu mengagetkan seluruh pelayat.
Setlah itu orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengn hati masygul dan heran. Sedangkan si joki dibawa oleh anak-anak menteri ke rumahnya. “Apa sebab kamu berteriak dan mengaku sebagai orang yg punya lembu?” tanya mereka.
“Aku tak tahu sebabnya, aku hanya diupah tuk berteriak seperti itu,” jawab si joki.
“Siapa yg mengupah kamu?” Tanya anak-anak meteri. “Abu Nawas,” jawab si joki.
“Hai Abu Nawas,” kata anak menteri setlah menemukan Abu Nawas, kenapa kamu mengupah tuk berteriak seperti itu dan menganiaya bapakku?”
“Menganiaya bapakmu?” Abu Nawas balik bertanya. “Bertanyalah yg benar.”
“Engkau suruh orang itu berteriak mengaku sebagai orang yg punya lembu, maka kami kejar dia, karena yg menyebabkan bapakku sakit tiada lain adalah orang yg punya lembu, bukan dari Allah.
“Oh begitu,” kata Abu Nawas sambil senyum kecil. “Jadi kamu tak tahu bahwa orang yg punya lembu itu sudah ditakdirkan Allah tuk berbuat demikian karena bapakmu terlalu zalim, penipu, penganiaya, pengisap darah orang kecil, dan sebagainya. Rasanya tak usah diperpanjang masalah ini, yg akan membuatmu malu besar, lebih baik kamu doakan aja agar bapakmu diampuni Allah.”
Anak menteri itu terdiam, sebab dia tahu semua perbuatan bapaknya. “Barangkali memang demikian takdir bapakku,” pikirnya dlam hati sambil berjalan pulang ke rumah.
Warga kota itu termasuk orang yg punya lembu merasa senang dan tenang hatinya karena tak ada lagi orang yg akan berbuat zalim.
Sedangkan Abu Nawas segera kembali ke rumahnya. “Niatku sudah terlaksana,” pikirnya. “Siapa tahu barangkali Khalifah Harun Al-Rasyid sedang menanti kedatanganku ke istana beliau, lagi pula aku juga sudah sangat rindu kepada Baginda Sultan.
--------------------------------------------------------------------------------------
Gimana? Sudah merasa terhibur dengan cerita lucu di atas. Jika anda tertarik membaca cerita lucu lainnya, silahkan baca di blog ini. Sampai berjumpa lagi di cerita lucu kami lainnya. Bey.
Untuk lebih lengkap tentang apa yang sedang Anda cari, Silahkan lihat dalam "Daftar Isi" di tombol menu atas!